Di luar Inggris, para pecinta sepakbola Inggris barangkali lebih peduli pada Premier League atau Champions League. Kalau pun Piala FA mendapat perhatian, biasanya pada semi final atau final, sedangkan laga di babak-babak awal kurang disorot, kecuali bila dua klub kuat beradu, seperti Manchester United vs Arsenal di babak ketiga kompetisi tahun ini. Di Inggris, romantisme Piala FA justru lebih menyala bila ada unsur Daud melawan Jalut, seperti yang beruntung saya tonton kemarin (Sabtu, 8 Februari) ketika tim lokal saya Leyton Orient dari London Timur menjamu raksasa sepakbola dunia, Manchester City. City enam kali menjadi juara Premier League di zaman Pep Guardiola, sedangkan Orient baru dua musim ini naik ke League One, dua divisi di bawah Premier League.
“I can’t believe Pep Guardiola will be in Leyton” kata anak saya hampir tak percaya setelah Orient diundi melawan City di babak keempat Piala FA. Beruntung sebagai anggota klub Orient, saya dapat membeli satu tiket. Tak seperti biasa, penjualan tiket amat ketat, satu anggota, satu tiket. Anak, menantu, dan teman saya yang titip tiket hanya bisa kecewa.
Setiba di stadion, kesan saya suasana hati pendukung Orient campur aduk antara perasaan penuh antisipasi menghadapi klub besar dan kecemasan akan dibuat malu di seluruh Inggris karena pertandingan akan disiarkan secara langsung secara nasional di televisi BBC. Dari kursi di belakang saya, saya dengar seorang penonton mengatakan kepada temannya “asal kita dapat satu gol saja saya sudah senang, tak apa kebobolan enam atau tujuh gol”.
Harapan saya lebih tinggi, agar Orient mampu mengimbangi City selama 90 menit, seperti ketika Tamworth melawan Tottenham Hotspur di babak ketiga. Syukur-syukur Orient bisa mencuri kemenangan lewat adu penalti.
City tidak turun dengan kekuatan penuh di babak pertama, tapi tetap saja lumayan banyak nama yang akrab di telinga para penggemar bola: kiper Stefan Ortega, Ruben Dias, Rico Lewis, Jack Grealish, Ilkay Gundogan, dan Savinho. Lainnya pemain-pemain baru seperti penyerang tengah asal Mesir, Omar Marmoush, back tengah muda dari Brazil, Vitor Reis and Nico Gonzalez yang oleh koran The Guardian disebut Rodri baru.
Tapi nyali Orient tidak ciut melawan pemain-pemain yang biasanya hanya mereka saksikan di televisi. Pada menit ke 18, Gonzalez disergap tiga pemain Orient di tengah lapangan dan kehilangan bola. Melihat posisi Ortega yang terlalu maju, gelandang Orient Jamie Donley melepas tembakan dari jarak 45 meter yang menghantam mistar gawang, mengenai pantat Ortega, dan masuk ke gawang. Seluruh stadion bergemuruh.
Tak lama kemudian Gonzalez yang cedera diganti oleh Bernardo Silva.
Tentara Merah
Dari awal pertandingan, para pendukung Orient tanpa henti menyemangati pemain-pemain mereka. Setiap tackle, setiap duel, setiap sundulan yang dimenangkan pemain Orient selalu disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai.
Berbagai nyanyian pendukung Orient pun bersaut-sautan, termasuk “Richie Wellens’ Red Army… Richie Wellens’ Red Army” sebagai pujian kepada manajer Orient yang sejak November membuat peringkat timnya melejit ke papan atas League One.
Pada turun minum, Orient masih unggul 1-0 atas City. Luar biasa!