Lihat ke Halaman Asli

Anton Suryanto

Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang

Islam, Sastra, dan Indonesia

Diperbarui: 6 Maret 2020   20:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sastra Kebangsaan dalam Islam Nusantara

Sudah menjadi wajar jika hari jadi sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia dirayakan secara meriah. Begitu juga yang terjadi hari Rabu, 4 Maret yang lalu, bertempat di kantor PWNU Jateng, rangkaian perayaan Harlah Nadhatul Ulama Jawa Tengah dilaksanakan, kegiatan yang mengambil tema "Meneguhkan Kembali Kecintaan kepada NKRI, Menuju Indonesia yang Mandiri, Maju dan Berkadilan" dirayakan dengan cukup meriah dan penuh rasa sukacita tak hanya umat Islam saja namun juga umat lintas agama, golongan, dan perbedaan-perbedaan yang ada.

Seperti yang sudah diketahui, dalam penamaan perayaan ulang tahun Nadhatul Ulama (NU) tersebut memakai istilah Harlah yang merupakan akronim dari Hari Lahir. 

Tak seperti organisasi-organisasi Islam lain yang menggunakan istilah arab seperti Milad dan juga tak menggunakan istilah HUT yang identik dengan perayaan instansi pemerintahan. Hal itu menjadi tanda bahwa organisasi NU bukan instansi yang di miliki oleh pemerintah dan hanya mewakili umat Islam saja, namun juga milik seluruh masyarakat Indonesia.

Namun ada yang berbeda dengan perayaan malam itu, dimana seni sastra berandil besar atas kemeriahan perayaan tersebut, perayaan yang sekaligus peluncuran buku kumpulan puisi berjudul "Sujud Bayang-Bayang" itu disertai dengan pembacaan puisi dari berbagai kyai, cendekiawan, dan tokoh-tokoh terkemuka tanah air. Buku Antologi puisi tersebut berisi kumpulan puisi yang bertemakan bagaimana kiprah Nadhatul Ulama selama 97 Tahun turut merawat persatuan dan kesatuan Indonesia.

Perayaan tersebut tentu memupuk asa untuk seni dan budaya sastra khususnya puisi lebih diminati kembali oleh masyarakat luas khususnya para remaja, tak dapat dipungkiri bahwa budaya sastra yang sudah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia beberapa tahun belakang kian sulit mendapatkan ruang-ruang apresiasi dari pemerintah maupun masyarakat. Tentu ruang yang di ciptakan oleh NU pada perayaan Harlah ke 97 tersebut sedikiit banyak mampu memantik semangat berkreasi di dunia sastra.

Mengenai budaya sastra puisi, tentu dalam perjalanannya dengan lika-liku masyarakat Indonesia sangat erat sekali, bagaimana peran sastra puisi yang senantiasa mengikuti kondisi bangsa. Sastra puisi yang bahkan sudah ada sejak Indonesia masih terdiri atas kerajaan-kerajaan menjadi bukti bahwa budaya sastra puisi tak pernah lepas dari kultur masyarakat Indonesia.

Dalam catatan sejarahnya para walisongo dan tokoh pendiri NU juga menggunakan budaya sastra puisi sebagai sarana dakwah kepada masyarakat agar ajaran Islam lebih dapat diterima oleh khalayak luas. ini menjadi bukti nyata ke-eratan antara Islam, Nadhatul Ulama, Sastra, dan Indonesia yang sudah terjalin sejak dahulu kala.

Perayaan Harlah NU yang dibalut dengan budaya sastra puisi seolah menjadi tanda ideologi NU yang erat sekali hubungannya dengan Indonesia-an. Kultur budaya yang sudah mengakar dalam ideologinya menjadi marwah peran NU yang senantiasa mampu menembus batas segala perbedaan di Indonesia selama 97 tahun lamanya. Selamat hari lahir Nadhatul Ulama semoga konsisten akan ideologi Islam Nusantara-nya yang senantiasa mengakulturasi antara Islam, Sastra, dan Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline