Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terbanyak didunia saat ini, terdiri dari berbagai macam suku, budaya, bahasa, adat istiadat, dan tentunya agama, jalan yang diyakini setiap insan untuk kembali kepada sang pencipta serta berbagai perbedaan lain yang menciptakan ikatan persatuan dalam bermasyarakat yang sudah turun-temurun. Bahkan ikatan persatuan itu telah muncul sejak 1336 masehi saat seorang patih dari kerajaan terbesar nusantara saat itu Gajah Mada bersumpah yang bahkan sumpahnya menggelegar hingga pelosok dunia. "Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa" tidak akan beristirahat sebelum bersatunya Nusantara. Jauh sebelum negara Indonesia berdiri.
Bhinneka Tunggal Ika Berbeda-beda namun tetap satu jua. Sebuah ikrar suci tentang sejarah sebuah negara yang mampu merdeka lewat tangan sendiri, perjuangan para pahlawan yang tidak memperdulikan perbedaan yang menyekat, tak peduli keringat ku Muslim keringatmu Kristen, darahku Hindu dan darahmu Katolik semuanya ditumpahkan menyatu di tanah air tercinta ini untuk sebuah makna merdeka, untuk sebuah harapan kedamaian di masa yang akan datang.
"Bhinneka Tunggal Ika menjadi garda terdepan dalam bermasyarakat, termasuk dalam berpolitik. Hal ini selaras bahwa membangun kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara di atas ke-Bhinneka Tunggal Ika-an untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang rukun, aman, damai, dan saling menghormati dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa" (Aeni, 2012). Ya Bhinneka Tunggal Ika 3 kata sederhana namun sarat makna, sebagai pondasi dan landasan hidup bangsa Indonesia
Namun, belakangan ini nampaknya ke-Bhinnekaan tunggal ika kita sedang diuji, konflik dan krisis kemanusiaan tengah melanda Indonesia. Seperti yang telah terjadi sebelum-sebelumnya, Sebagian besar konflik dan krisis kemanusiaan terjadi karena persoalan agama, seperti kasus di Suriah dan pertikaian Israel-Palestina yang hingga kini belum menemukan titik damai. Begitupun yang telah terjadi di Indonesia toleransi beragama yang sedang melemah tentunya berdampak pada konflik dan krisis kemanusiaan yang kian berkembang pesat.
Berawal dari Jakarta, Ibu kota negara Indonesia yang tentu jika terjadi sesuatu hal gaungnya akan sampai ke seluruh nusantara bahkan dunia. Gubernur Jakarta saat itu Basuki Tjahaja Purnama atau yang kerap disapa Ahok, melakukan penistaan agama Islam dalam pidatonya di Kepulauan Seribu.
Indonesia yang hampir 90% beragama Muslim tentu saja tersinggung, dan hal ini dimanfaatkan oleh beberapa okmun yang memang dari awal mendukung intoleransi untuk semakin memanaskan keadaan, lalu diikuti oleh oknum berdasi yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik belaka, lalu sebagian yang lain sibuk mempelintirkan berita atau hoax masyarakat Indonesia yang pada dasarnya mudah terpedaya oleh berita, semakin membakar keadaan hingga seorang presiden Joko Widodo harus turun tangan menenangkan keadaan.
Konflik yang sebelumnya hanya berpusat di Jakarta meluas hingga seluruh pelosok nusantara, demo berjilid-jilid yang dimotori oleh salah satu ormas Islam mengajak ratusan ribu hingga jutaan orang dari berbagai penjuru Indonesia berduyun-duyun datang ke Ibu kota untuk menuntut keadilan. Hingga saat demo 4 November 2016 yang sebelumnya sudah diprediksi akan menjadi ricuh menjadi kenyataan, selepas Maghrib sore itu gesekan demonstran dengan pihak kepolisian tidak dapat dicegah hingga meluas terjadinya penjarahan di Alfamart penjaringan Jakarta Utara.
Peristiwa demontrasi 4 November 2017 atau yang lebih dikenal sebagai aksi bela Islam 411 tentu menjadi bukti krisis dan konflik kemanusiaan di Indonesia telah berkembang. Berbagai media luar negeri juga ikut menjadikan peristiwa 411 menjadi headline mereka seperti harian Reuters menuliskan "Tens of thousands of Muslims march in Indonesia against city governor." Lalu harian terkenal Amerika Serikat CNN tak mau kalah menjadikan peristiwa 411 sebagai headline mereka "Thousand rally in Jakarta over governor's alleged Blasphemy." Dan hal itu semakin menyatakan bahwa turunnya toleransi beragama menjadi salah pemicu hadirnya krisis dan konflik kemanusiaan.
Pemerintah seperti tidak mampu menenangkan keadaan yang semakin tidak terkendali akibatnya konflik dan krisis kemanusiaan tidak kunjung mereda, malah cenderung meningkat, seperti kasus kebaktian natal di gedung Sabuga Bandung yang dihentikan oleh salah satu ormas. Peristiwa-peristiwa semacam ini tentu saja membuat resah sebagian masyarakat Indonesia yang khawatir, jika tak kunjung berhenti tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali krisis dan konflik kemanusiaan seperti diera reformasi 1998.
Konflik dan Krisis kemanusian di Indonesia di perparah oleh banyak orang yang menjadi lebih sensitif perihal perbedaan, konflik saling tuduh,fitnah dan saling melaporkan seakan-akan dirinyalah yang paling benar menjadi menu 'santapan' wajib setiap hari. Para insan cendekia yang duduk dibangku pemerintahan para wakil-wakil rakyat yang semestinya memberikan nafas keharmonisan lebih suka saling meng-egokan siapa yang menang dan kalah lalu berebut simpati kepada rakyat bahwa dirinya lah yang benar. Lalu para guru yang hakekatnya "di gugu lan di tiru" atau dalam bahasa Indonesia orang yang dipercaya dan diikuti.
Yang setiap ilmunya akan dipertanggung jawabkan oleh para calon-calon penerus bangsa Indonesia, menjadi salah satu sosok yang bertanggung jawab dalam menanam bibit-bibit intoleransi dan radikalisme, terbukti oleh tertangkapnya para oknum radikalisme dan penyebar berita hoax Intoleransi berprofesi sebagai seorang guru. Tidak bisa dibayangkan jika misal satu sekolah terdapat satu guru saja yang mengajarkan paham intoleransi dan radikalisme, berapa banyak calon-calon penerus yang lahir untuk merusak sejarah bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika di masa yang akan datang.