Lihat ke Halaman Asli

Bertahan dengan Pisang

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1422591240255039941

[caption id="attachment_394028" align="aligncenter" width="480" caption="Pak H. Sulaiman, pedagang pisang di pasar Babakan Madang, Sentul sedang sibuk menata kios pisangnya setelah menerima kiriman pisang dari Lampung. Sentul, 28 Januari 2015"][/caption]

“Nu penting  masih keneh seueur nu resep cau,berarti dapur bapa ngebul keneh”. Dengan senyumnya yang lugu pak Haji Sulaiman (+ 50 tahun) menuturkan pendapatnya dalam bahasa Sunda mengenai sulitnya kondisi ekomoni Indonesia saat ini, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya “Selama masyarakat masing makan pisang, berarti dapur saya masih bisa ngebul”.

Pasar Babakan Madang adalah sebuah pasar traditional sederhana di tengah dahsyatnya arus pembangunan di area elit Sentul city. Jika kita berjalan ke salah satu sudut pasar ini kita akan menemui sebuah kios pisang sederhana milik pak Sulaiman. Ia telah berjualan pisang di pasar Babakan Madang, Sentul City sejak 5 tahun yang lalu. Ia menjual berbagai varian pisang mulai dari varian paling kecil yaitu pisang muli, pisang ambon, pisang klutuk, sampai pisang yang ukurannya spektakuler yang biasa disebut oleh penduduk setempat dengan sebuatan pisang tanduk karena bentuknya yang menyerupai tanduk.

Di kiosnya yang sederhana, pak Haji Sulaiman setiap hari membawa pulang hasil penjualan pisang antara Rp. 350.000,- sampai Rp. 500.000,-/hari dengan omset penjualan sedikitnya satu kwintal pisang pisang perhari dengan harga rata-rata 3500 – 5000/kg tergantung dari jenis pisang yang dijual. “Yang menjadi primadona para pembeli adalah pisang Ambon karena rasanya manis dan lezat”, begitu tuturnya. Pisang-pisang ini banyak digunakan pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sehingga biasanya pesanan akan meningkat pada bulan Maulid (bulan kedua dalam penanggalan Islam).  Konsumen pisang pak Sulaiman berasal dari berbagai kalangan mulai dari ibu rumah tangga hingga para pemborong yang membuka kios pisang di daerahnya masing-masing.

Yang unik dari kios pisang pak Haji adalah pisang yang dijual oleh Pak Sulaiman tidak ada yang berasal dari Bogor dan sekitarnya. Pisang yang sumbernya paling dekat berasal dari Sukabumi terutama untuk varian pisang Muli. Sedangkan untuk varian yang lain seperti pisang Ambon, pisang Klutuk dan pisang Tanduk berasal dari Wangon, bahkan ada yang berasal dari Lampung dan Kalimantan. Sehingga, Pak Haji harus berlomba dengan waktu untuk menjual pisangnya sebelum membusuk serta  mengurangi resiko rusaknya pisang dalam proses pengiriman. Itulah sebabnya pak Sulaiman mensiasati keadaan ini dengan cara membeli pisang yang belum matang sempurna.

Kondisi ini menjadi ironis karena Bogor merupakan daerah yang memiliki sector pertanian yang cukup baik namun lebih banyak diarahkan untuk mendukung sektor wisata sehingga para petani lokal dituntut untuk menghasilkan varietas hasil terbaik untuk dijual di daerah-daerah wisata di wilayah bogor dan sekitarnya. Hal ini merupakan dampak dari kebijakan pembangunan melalui UU no. 22/1999 yang telah memberikan arahan bahwa sebagian besar urusan dan tanggung jawab pelaksanaan pembangunan diserahkan kepada pemerintah daerah (Mayrowani, Henny ; 2006 Kebijakan otonomi daerah dalam perdagangan hasil pertanian). Keadaan ini diperparah dengan politisasi pertanian dimana pengembangan sektor-sektor strategis seperti pertanian digulirkan tidak berbasis pada kepentingan dan kebutuhan pengembanan ekonomi kerakyatan namun dikendalikan untuk kepentingan beberapa gelintir orang penguasa saja. Lagi-lagi yang menjadi korban dalam masyarakat petani dan pedagang kecil seperti pak Sulaiman.

Dalam menghadapi situasi ini pak Sulaiman tidak patah arang. Pak Sulaiman terus bekerja keras setiap hari. Ia mulai membuka Kiosnya pada pukul 5 pagi dan menutupnya sebelum Maghrib menjelang. Ia tidak terlalu peduli dengan kondisi ekonomi dan dan politik yang makin carut marut. Baginya, “selama masyarakat masih mengkonsumsi pisang, maka dapurnya akan terus berasap”, begitu tuturnya dengan senyuman tulus mengembang diwajahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline