Lihat ke Halaman Asli

Kondisi Berkurangnya Anak-anak dan Bertambahnya Jumlah Usia Janjut (Shoushi Koureika)

Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Jepang mempunyai masalah sosial yang cukup berat, yaitu kurangnya jumlah anak yang dilahirkan. Dalam bahasa Jepang masalah ini dikenal dengan sebutan shoshika, ka adalah perubahan, shoshi adalah sedikit anak. Memang jumlah anak yang dilahirkan sedikit, sehingga bagan demografi akan menjadi kerucut terbalik. Selain masalah sedikitnya anak, juga masalah banyaknya orang tua yang semakin panjang usia. Masyarakat manula ini disebut dengan koureika, perubahan ke arah masyarakat lansia. Sedikit bayi, banyak kakek/nenek.Jadi, yang disebut Shoushi Koureika adalah kondisi berkurangnya anak-anak dan bertambahnya jumlah usia lanjut.

              Terjaidnya shoushi koureika disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah Arufo atau singkatan dari around fourty. Istilah ini dipakai untuk wanita di Jepang yang berumur 39 sampai 40 tahun yang lebih mementingkan karirnya dibandingkan hidup berkeluarga. Banyak wanita epang sudah berkepala empat yang belum menikah dan tidak ingin menikah karena mereka lebih mencintai kehidupan karir yang lebih bebas dibandingkan harus berkeluarga yang lebih terikat bahkan beberapa diantara wanita jepang yang termasuk kelompok Arufo yang sudah menikah dan memilih untuk bercerai dan fokus terhadap karirnya. Banyaknya jumlah perempuan di Jepang yang tidak ingin menikah mencapai 1,34%.

              Kemudian masalah usia lanjut, usia rata-rata orang Jepang untuk laki-laki 79 tahun sedangkan perempuan 85.8 tahun. Sehingga jumlah usia rata-rata orang Jepang 82.4 tahun. Dewasa ini rara-rata tertinggi usia di dunia diduduki oleh Jepang. Untuk memberikan jaminan kepada orang-orang usia lanjut agar mereka panjang usia, seperti jaminan kesehatan, kesejahtraan, perawatan, dan lain-lainnya, diperlukan biaya yang sangat besar. Ini menjadi tanggung jawab generasi yang masih bekerja. Pada tahun 2000, untuk memberikan jaminan pada 1 orang usia lanjut diperlukan 4 orang bekerja aktif. Kemungkinan pada tahun 2025, untuk memberikan jaminan pada 1 orang usia lanjut diperlukan 2 oarang bekerja aktif. Dari sini dapat dilihat adanya kontradiksi antara semakin menurunnya jumlah anak-anak yang akan menyebabkan semakin berkurangnya penduduk bekerja dengan semakin meningkatnya angka usia lanjut yang memerlukan bantuan jaminan sosial. Jelaslah kalau Jepang menjadi pusing tujuh keliling.

              Saya kurang setuju tentang pola berfikir wanita jepang yang lebih mengutamakan karir dari pada berkeluarga karena dengan cara seperti itu dapat mengurangi pupulasi anak di negara tersebut. Selain itu, pola berfikir tersebut dapat menybabkan hilangnya garis keturunan keluarga. Dari masalah ini, akan banyak menimbulkan masalah-masalah baru di Jepang.

 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline