Lihat ke Halaman Asli

Reformasi Bea Cukai, antara Pengenaan Bea Barang Pribadi Penumpang dan Kiriman

Diperbarui: 23 September 2017   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: cumilebay.com

"Setitik susu di belanga,
sejumput rumput di peraduan.
Bertitik-titik menuju ke sana,
akhirnya sampai di tujuan"

Akhir-akhir ini, di semua pintu masuk ke Indonesia, Bea Cukai sedang melakukan pengetatan pengawasan, sebuah reformasi besar-besaran. Impor-impor yang selama ini disinyalir dipelihara oleh para oknum aparat, yang kemungkinan besar menjadi pintu masuk barang-barang terlarang, termasuk obat-obat terlarang sudah semakin berkurang. Bravo Bea Cukai!

Sekarang bukan hal yang aneh melihat penangkapan demi penangkapan terhadap narkoba dalam jumlah yang besar, baik oleh Bea Cukai, BNN maupun Polri. Begitu banyak sudah nyawa yang terselamatkan. Terima kasih banyak, Bapak-bapak dan ibu-ibu. This country owes you. Keep the good works!

Reformasi sekali ini bukanlah reformasi regulasi, tetapi reformasi tindakan. Karena tidak ada aturan baru. Hanya ada tekad untuk berubah menjadi lebih baik, lebih tertib dan lebih profesional.

Seiring dengan semakin tertibnya importasi, saya jadi teringat pada satu cerita yang menyedihkan. Almarhum Affandi, Sang Maestro, menurut ceritanya, mengalami stroke dan depresi serta kehilangan keceriaan hidupnya karena Dino GT, mobil sport-nya disita (oleh BC) negara. Di dalam pikiran beliau, kenapalah mobil yang kubeli dengan uangku sendiri, bukan hasil kejahatan tidak bisa dimasukkan ke Indonesia? Sedangkan di Pelabuhan Udara dan Pelabuhan Laut pada masa kini, di Indonesia, ya, sekarang ini, juga banyak orang yang barangnya disita negara, karena kekurangan pengetahuan regulasi pabean. Tentu kita mengerti, kalau BC hanyalah penjaga di pintu gerbang keluar masuknya Indonesia. Mereka hanya menjalani aturan yang dititipkan pada mereka. Itulah selalu kalimat yang kita dengar dari pihak BC. 

Sekali ini, mari kita membahas tentang importasi nonkomersial, yaitu barang kiriman dan barang bawaan penumpang.

Dari berbagai kasus, saya melihat ada beberapa hal yang perlu juga direformasi dalam kaitan dengan reformasi Bea Cukai.

5 poin reformasi Bea Cukai
Pertamareformasi regulasi atas barang penumpang. Yang sering menjadi masalah adalah nilai barang bawaan orang pribadi (USD 250) atau nilai barang bawaan suatu keluarga (USD 1000). Untuk barang kiriman pembatasannya adalah di angka USD 100. Tidaklah masuk akal pada masa sekarang, menganggap bahwa perjalanan keluar negeri adalah suatu hal yang mewah seperti masa lalu, apalagi sejak Air Asia memulai armada pesawat budget. Dan lagi pula, apabila ada orang berpenghasilan rendah dan menengah, sesudah menabung bertahun-tahun, ikut tur ke luar negeri.

Ketika kembali ke Indonesia, dia harus membayar Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor-nya, yang katanya bisa ditagih sampai setengah dari harga barang, dihitung dari harga barang dikurangi USD 250 untuk perorangan dan USD 1000 untuk satu keluarga. Apakah mungkin nilai oleh-oleh itu "hanya" USD 250 per orang? Dirjen Bea Cukai mengatakan batasan ini juga berlaku dengan nilai yang berbeda di negara lain. Ada yang lebih rendah, malahan. Tetapi, adalah juga suatu kenyataan, bahwa di luar negeri, Bea Cukai mereka tidak lagi meng'kepo'in nilai pabean barang penumpang. Ada berbagai pertimbangan, tetapi rasa keadilan mungkin adalah hal yang menjadi prioritas.

Perlu diingat pula, pembatasan nilai barang yang dibebaskan Bea Masuk dan PDRI sudah dimulai dari tahun 1982 (37/KMK.05/1982), berlanjut ke tahun 1996 (490/KMK.05/1996), berlanjut lagi ke tahun 2007 (89/PMK.04/2007) dan terakhir di tahun 2010 (188/PMK.04/2010), belum mengalami perubahan, masih di angka USD 250 dan USD 1000. Agak mengherankan memang, bahwa angka ini tidak berubah sesudah 35 tahun, meski pendapatan per kapita pada tahun 1982 adalah USD 500 dan sudah meningkat tujuh kali lipat lebih, menjadi USD 3605 pada tahun 2016.

Memang semua warga negara mengerti bahwa negara memerlukan pendapatan, tapi masa untuk mendapatkan sedikit kesenangan dengan melancong dan berbelanja ke luar negeri, harus dibatasi dengan angka USD 250 dan USD 1000? It is so unfair.Lagipula, bukankah uang yang dipakai berbelanja di luar negeri adalah uang yang telah dipajak di dalam negeri? Apabila harus ditagih, sebaiknya untuk barang penumpang diberi keistimewaan, umpamanya diberikan tarif khusus dan ppn serta pphnya di angka 10% dan 2,5%. Atau ditagih flat 15% (termasuk BM, PPN dan PPH) dari nilai barang, mengingat kebanyakan penumpang tidak tahu berapa Bea Masuk untuk setiap produk yang mereka beli? At least,buatlah masyarakat mudah untuk menaati peraturan dan bisa berhitung sendiri sebelum membayar. Menyangkut barang kiriman, untuk membeli barang dari tempat yang jauh, air freight saja bisa USD 50, masakan pembatasan masih di USD 100? Atau dibatasi pada nilai FOB saja? Buatlah warga negara mu nyaman. Jangan sampai rakyatmu merasa seperti berhadapan dengan preman tukang palak ketika kembali ke negaranya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline