Lihat ke Halaman Asli

SARA di Indonesia

Diperbarui: 3 September 2016   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai orang yang lahir dan besar di Medan, maka sebenarnya, masalah SARA ini adalah sesuatu yang dianggap bukan masalah besar, tetapi sebenarnya, SARA adalah salah satu masalah paling besar di Medan dan Sumatera Utara. Bukan rahasia umum, sejak kanak-kanak, para orang tua sudah 'mendidik' anaknya tentang pandangan terhadap suku lain.

"Orang xxxx itu pendendam', "orang xxxx itu kasar", "orang xxxx itu tidak mengenal budi", "agama xxxxx itu menyembah xxxxx", dan sederetan kalimat-kalimat negatif lainnya.

(orang xxxx itu artinya suku xxxx)

Kalau kita mendidik anak-anak kita dari kecil dengan pemahaman seperti ini, apakah memerlukan seorang yang berkemampuan lebih untuk meramal masa depan Indonesia?

Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap isu SARA ini?

Langkah yang paling masuk akal adalah pertama-tama menyadari, bahwa kesukuan dan agama kita, sebagian besar adalah mengikuti orang tua kita. Jadi, itu bukan pilihan, itu adalah faktor kelahiran kita. Sebagai orang beragama, maka kita pun menyadari, bahwa itu adalah otoritas dari Tuhan YME, kita terlahir dari keluarga yang mana.

Kedua, kita harus menyadari, bahwa manusia itu tidak sempurna, apa pun sukunya dan apa pun agamanya. Kita boleh mengimani bahwa agama kita adalah yang paling sempurna, tetapi kita sebagai umatNya, yang adalah manusia biasa, tetaplah bukan manusia sempurna.

Ketiga, kita harus menyadari juga, bahwa sebagaimana kita mengagungkan ajaran leluhur kita (adat istiadat) dan agama kita, demikian juga orang lain mengagungkan adat istiadat mereka dan agama mereka. Maka di sini, "Bagimu agamamu, bagiku agamaku" adalah filosofi yang baik utk diterapkan. Jangan kita melempar batu, karena kita benar. Karena ketika kita melempar batu, sebenarnya kita sedang melempar keluar kebenaran dari diri kita, sehingga kita bukan lagi menjadi orang benar. Dan sebagaimana kita meyakini kita akan masuk surga atau nirvana, seyakin itu jugalah, teman-teman yang beragama lain. Dan meski kebudayaan besar di dunia, diakui adalah kebudayaan Mesir, Tiongkok dan India, tetapi ada adat istiadat unik di suku-suku lain yang kalau didalami mengandung filosofi yang sangat mendalam dan bernilai mulia.

Keempat, karena kita tidak memutuskan lahir di mana dan dari siapa, dan karena kita tidak sempurna, dan karena teman-teman kita yang bersuku lain dan beragama lain juga meyakini dan menjalankan adat dan agama mereka (seperti kita), maka sikap ngotot ketika membicarakan adat/kebudayaan serta agama harus dihindari.

Kita tidak sadar ketika kita memaki orang lain (karena atribut sara nya) di depan anak kita, maka kita sedang menciptakan orang (bermasalah) yang sama dengan diri kita.  Bukankah kita ingin anak kita tumbuh besar menjadi anak yang sopan? Kok kita ajari kalimat-kalimat kasar?

Masalah SARA menjadi membesar di era pemerintahan Orde Baru. Pada jaman itu, membicarakan kubah mesjid saja pun langsung dicap SARA. Ketika masalah ini membesar, kaum "pribumi" merasa dianak tirikan, sedangkan kaum "tionghua" merasa terancam kehidupannya. Ini kan sesuatu yang aneh. Kedua pihak merasa tidak nyaman. Yang satu merasa Tionghua sudah merampas kekayaan di negeri ini, sedangkan Kaum Tionghua merasa menjadi sapi perahan pejabat. Pada masa itu, pada dasarnya semua suku tidak ada yang benar-benar saling suka, umpamanya, suku Jawa dan Batak, Batak dan Karo, Nias dan Mandailing, Aceh dan Batak, Melayu dan Sunda, Ambon dan Makasar, dsb dsbnya......

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline