Masih segar di pikiran kita, ketika harga pangan naik tinggi beberapa bulan yang lalu. Jagung sampai 6500-7000 per kg. Waktu itu, impor jagung dihentikan sepihak oleh pemerintah. Salah satu alasan Mentan, Amran Sulaiman, karena harga pembelian di petani terlalu rendah. Jagung yang sudah tiba di pelabuhan surabaya, tidak boleh keluar dari gudang. Meski harga jagung melambung dan protes dari pabrik pakan dan peternak berdatangan, mentan koppig, keras kepala. Lalu, kemudian mentan melakukan impor sendiri, via Bulog. Dan jagung yang ditahan kemudian diijinkan keluar dari pelabuhan.
Lalu, apakah keadaan jagung sekarang baik? Harga jagung dibeli peternak berkisar 5000 per kg, pada saat ini. Berapa sebenarnya harga yang wajar dari jagung? 3000 kah, 4000 kah, atau 5000? Menurut perhitungan kewajaran, dengan memperhitungkan keuntungan petani dan peternak serta daya beli masyarakat atas produk pangan yang berhubungan langsung dengan jagung, menurut saya 3500 - 4000 adalah harga yang wajar. Ketika mentan mengambil tindakan untuk menghentikan impor, apa sebenarnya yang ada di dalam benak beliau? Apakah Mentan berniat menaikkan harga jagung setinggi-tingginya? Bukankah ini akan menimbulkan efek domino? Harga ayam dan telur ayam tentu akan naik. Rakyat sebelah mana yang sedang dibela?
Ketika Bulog diikutsertakan dalam ketahanan pangan, dan kuota impor kepada pengusaha swasta sama sekali ditutup, maka kita perlu melihat, apakah tujuan Mentan tercapai, atau ini hanya 'uji coba' saja? Salah satu alasan Mentan ketika itu adalah harga beli di tingkat petani yang hanya 1800. Di Sumatera Utara, harga jagung sangat transparan. Bahkan di tingkat petani sekalipun, harga pabrik pakan hanya sejauh telepon. Harga jagung pada saat itu, pipil kering adalah 3200 per kg.
Saya merasa bingung, sambil menulis saya bertambah bingung, karena belum mendapat alur logika dari penanganan pangan dari mentan. Kalau Mentan ingin menciptakan suatu sistem perdagangan pangan yang sehat, kenapa harga pangan kita tidak masih tinggi? Kenapa sesudah daging dan jagung diserahkan ke Bulog, harga masih tinggi? Sama saja dengan ketika impor dipegan swasta? Ada apa ini?
Beberapa hari yang lalu, JOKOWI mengatakan dengan jungkir balikpun harga daging harus di bawah 80.000 per kg nya. Apakah di bawah 80.000 adalah harga yang wajar? Apakah peternak akan gulung tikar dengan harga ini? Apakah biaya penggemukan sapi tertutupi dengan harga 80.000?
Sebenarnya, pemerintah ini, mau menaikkan harga pangan demi peternak dan petani, ataukah menurunkan harga pangan demi masyarakat Republik Indonesia yang mengkonsumsi hasil produksi pertanian dan peternakan? Atau hanya sekedar latah saja, tergantung situasi? Kalau masyarakat takut harga daging naik di bulan puasa, maka pemerintah mengumumkan harga daging akan turun?
Melihat tata kelola pangan di Indonesia, saya berpendapat, Indonesia semakin menuju ke sistem sosialis. Ketika pemerintah tidak mampu untuk berperan tepat dalam sistem perdagangan pangan, maka karena merasa lebih gampang 'mengontrol' bulog, maka semua kuota impor dibuang ke bulog. Meskipun kemudian harga pangan tidak lebih baik, pemerintah tidak peduli. Meski keadaan menjadi lebih buruk, pemerintah pun tidak peduli. Satu alasan klasik, ada kartel yang mau dimusnahkan, ada monopoli, dsb nya. Kalau ada beberapa importir yang telah secara rutin selama bertahun-tahun melakukan impor karena mampu secara finansial dan memiliki network yang cukup, kenapa mentan tidak bisa membina mereka? Ingat, sebelum mentan mengambil tindakan, harga jagung masih 3500! Harga yang wajar! Lalu memfitnah pedagang jagung sebagai monopoli jahat adalah hal yang wajar saja? Saya tidak tahu, apakah para pengusaha itu adalah dari etnis tertentu? Apakah ada unsur sara? Wallahualam, apa masih jamannya main sara?
Sekarang, Presiden meminta supaya harga daging turun. Maaf, ya, Pak, siapa yang menalangi kerugian peternak dan pedagang daging?
Lalu, bagaimana pemerintah seharusnya berperan?
Peranan pemerintah dalam sistem perdagangan pangan harus menjadi penyeimbang dan mengupgrade sistem yang ada menjadi lebih sehat dan kuat. Bukan turut menjadi 'pemain' atau malahan menjadi 'pemain utama'. Meski, fungsi intervensi ketika keadaan pasar sedang genting, harus tetap ada.
Saya berikan contoh tentang daging. Selama ini, sumber daging kita adalah dari penggemukan. Kita mengimpor anakan, digemukkan dan kemudian dijual. Semua biaya produksi bisa dihitung. Dari tempat pemeliharaan sampai dengan pangan dan transportasi serta biaya lainya, kita akan mendapatkan biaya penggemukkan per kg. Apakah sudah ada ahli nya di bidang ini? Sudah dan sudah berjalan. Apakah bijaksana apabila mereka dimatikan?