Masalah tentang Untung Sangadji ini pernah saya bahas dalam tulisan saya di bulan Januari. Beberapa hari terakhir ini, melihat di media, Untung berhasrat ikut pilkada, berarti dia mau mengundurkan diri dari POLRI. Tetapi, yang tidak enaknya, dia mengumbar kekecewaan karena merasa dilecehkan oleh Kapolri. Dan caranya, jelas melecehkan KAPOLRI dan POLRI.
Untung Sangadji mengaku tidak mendapatkan penghargaan dan imbalan yang sepantasnya dari Kapolri. Hal ini dirasakannya, karena hanya mendapatkan pin, uang dollar dan 11 ekor kambing. Yang diharapkannya, adalah mendapatkan kenaikan pangkat dan jabatan yang baik.
Saya masih ingat, Untung Sangadji mengatakan, "lebih baik teroris atau saya yang mati, daripada ribuan masyarakat yang mati". Tentu ini adalah kalimat yang sangat kuat. Kalimat yang menggambarkan betapa seseorang memiliki kualitas yang tinggi. Siap berkorban untuk rakyat. Sangat teramat hebat. Tetapi, hanya perlu 3 bulan untuk membuktikan, ternyata kalimat itu hanyalah sebuah sandiwara. Seorang pahlawan, seharusnya tetaplah pahlawan. Tidak akan berubah dalam 3 bulan. Kok bisa keluar kalimat yang bertolak belakang, sesudah 3 bulan berlalu? Apakah seorang pahlawan akan ngambek, karena tidak diberikan kenaikan pangkat, jabatan, kuasa?
Dari sisi lain, saya pikir, Kapolri pasti menyelidiki latar belakang dari semua orang yang diklaim sebagai pahlawan dalam kasus Sarinah. Atau mungkin, beberapa dari mereka memang sudah dikenal secara pribadi oleh Kapolri. Kalau kita urut beberapa hal dalam berita-berita nasional, menurut saya, malahan agak berlebihan memberikan penghargaan kepada Untung Sangadji.
Ada beberapa kesaksian yang tidak matching. Pertama, ada seorang perwira, Ipda Tamat, yang mengaku tiarap di balik CRV bersama dengan Untung Sangadji, karena ditembaki oleh teroris. Sesudah suasana hening, barulah dia ke tempat teroris sudah terkapar, kemudian menembak beberapa kali teroris yang sudah terkapar tidak berdaya. Kedua, Kombes Martuani mengatakan sempat membentak Untung karena tidak mengenal Untung. Lalu meminta ajudannya dan Untung untuk melindungi Kombes Martuani dalam tembak menembak tersebut. Tetapi, hanya kesaksian dia sendirilah, yang mengatakan dia frontal menghadapi teroris, tembak menembak dan melumpuhkan teroris.
Dan hal lain, kehadiran Untung di sekitar lokasi, dan keterlibatannya dalam Densus 88 pada masa lalu, sedikit membawa kecurigaan, apakah dia memang tahu akan ada serangan teroris? Tapi, ini hanya suatu pengandaian. Hanya saja, kok kebetulan sekali ya?
Dan sangat disayangkan mental seorang AKBP bernama Untung Sangadi adalah seorang yang harus meminta imbalan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Seorang yang begitu harapannya tidak terpenuhi, segera mengkhianati institusinya. Bahkan pemimpin tertingginya pun berani dia serang. Kalau orang seperti ini diberikan jabatan yang berpengaruh, apakah tidak merusak? Maka, menurut saya, adalah sangat pantas, pemberian pin, uang dolar dan 11 ekor kambing. Pemberian pin adalah suatu penghargaan yang tidak ternilai. Pemberian uang dan kambing, mungkin hanya diberikan kepada AKBP Untung, tidak kepada Perwira Menengah lainnya. Tetapi, tentu sosok Untung ini lebih dikenal secara detail dan mendalam oleh teman-temannya di POLRI. Karena pertimbangan tertentu, maka diberilah uang dolar dan kambing kepadanya.
Tulisan ini hanya ingin mengingatkan, bahwa mental semua orang seharusnya tulus, bukan lah tipe orang yang harus meminta imbalan ketika berbuat baik. Berbuat baik adalah suatu hal yang harus kita nikmati. Kenikmatan itu sendiri sudah menjadi suatu imbalan tak terhingga. Ketika kita melakukan hal yang baik, seumpamanya menolong orang yang kecelakaan di jalan, apakah kita berharap mereka harus selalu mengirimkan parsel ketika tahun baru? Dan juga, tulisan ini untuk memperlihatkan, ternyata kualitas pemikiran kita, sudah demikian terkontaminasi dengan imbalan. Mengembalikan dompet orang pun berharap dikasih imbalan.
Mudah-mudahan, AKBP Untung Sangadji dapat menjadi orang yang lebih baik dan lebih hebat, orang yang tulus dan berkemampuan dan bisa menjadi kebanggaan orang-orang dekatnya. Mungkin tulisan ini, agak keras menegur, tetapi, apa yang dikatakan Kombes Krisna Murti, bahwa penanganan di Sarinah adalah kerjasama tim, bukan individu. Mungkin ini adalah respon yang lebih dewasa. Tidak perlulah kita menonjolkan diri kita sendiri. Apalagi mengingatkan orang lain, kalau kita ini sudah berjasa. Belum ada apa-apanya jasa kita, dibandingkan dengan pengorbanan para pahlawan yang sudah mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan RI.
Mudah-mudahan tidak ada lagi pejabat publik yang minta dibayar jasanya. Tak kebayang, kalau para mantan presiden minta imbalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H