Lihat ke Halaman Asli

Pilpres Satu Putaran Vs Golput

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada bayangan kelam setelah berkali-bali melihat tayangan iklan ajakan Pemilihan Presiden Satu Putaran, karena ada pengarahan pikiran pada kemenangan Capres SBY. Itu yang membuat hati ketar-ketir.

Pilpres satu putaran memang sesuai azas demokrasi kita. Tapi ketika Arnas Urbaningrum yang menyuarakannya dan LSI mengiklankannya, maknanya menjadi bias. Karena mereka bekerja untuk Capres SBY. SBY yang saat ini seperti koin bersisi dua. Capres di satu sisi dan Presiden RI hingga Oktober 2009 di sisi lainnya. Dan pada penyuksesan pekerjaan kampanye Capres itulah wacana Pilpres Satu Putaran dicantolkan.

Pada sisi Capres, banyak orang yang bisa mendebat sikap, program, dan ucapan SBY, termasuk pikiran, ucapan, dan tindakannya saat menjadi presiden. Perangkat pemerintah tidak akan campur tangan karena kewajiban netralitasnya. Aparat negara juga begitu. Semua pendukung dan pengikut SBY bekerja dalam kapasitas individu untuk kepentingan meraih ‘kursi panas’ RI 1. Kapasitas yang sama dengan warga masyarakat lainnya.

Pada sisi SBY sebagai Presiden RI, kita lebih sulit mendebatnya. Sulit mendapatkan akses untuk memahami kedalaman posisi persembunyian kepentingan Capres dalam pakaian berlencana Presiden RI. Contoh kasus, --mungkin tidak persis, -- ketika Menteri Keuangan membantah sumber dana BLT dari pinjaman luar negeri. Persoalannya, karena yang dikritik adalah program unggulan Capres SBY. Bantahan akan lebih baik bila disampaikan oleh Rizal Mallarangeng sebagai anggota tim sukses.

Kembali ke soal wacana dan iklan Pilpres Satu Putaran plus. Bayang-bayang kelemahan dalam penyelenggaraan Pemilihan Legislatif April 2009, belum sirna. Saling lempar kesalahan antara Presiden, KPU, beberapa partai, dan pengamat independen, belum tuntas dan melegakan. Baru pada tingkat ‘maklumi saja.’ Issu kecurangan sistematis dan keberpihakan KPU paska-Pileg tidak mendapat perhatian khalayak. Pejuang demokrasi pun saat-saat ini tampak kurang bersemangat.

Dorongan untuk mencari, menemukan dan mengganjar pelaku kecurangan dalam pemilu, melemah setelah pikiran kita diteror oleh updating hasil quick count per jam. Kecurigaan kita pada kecurangan dicuci setiap hari. Keampuhan daya cuci bergantung pada tingkat kepentingan langsung kita pada pileg. Partai oposisi dan calon legislator yang tidak masuk, memerlukan waktu agak lama. Tetapi selainnya, hanya memerlukan tiga hari. Cukup. Apalagi ‘kepasrahan’ sebagai hasil cuci, diperkuat oleh system IT KPU yang kehilangan kecanggihan. Alhasil, sebelum pengumuman resmi hasil pemilu, kita sudah bergegas berkoalisi dan mengatur strategi menghadapi Pilpres.

Antara lain atas alasan dugaan ‘cuci otak’ itulah yang memunculkan ketakutan terhadap itikad (buruk?) di balik kampanye Pemilu Satu Putaran Tim Sukses SBY. Awalnya, wacana itu saya tanggapi biasa-biasa saja. Tapi ketika dalam wacana itu diletakkan SBY sebagai pemenang, segera timbul kesan hasil pemilu akan ‘dipaksakan’.

Anas Urbaningrum memperlihatkan kelicinannya ketika menyebut orang-orang yang menolak Pilpres satu putaran tidak mengerti demokrasi. Kalimat Anas secara verbal tidak keliru, tetapi itikad yang tidak diverbalkan yakni SBY Menang dalam satu putaran, itulah yang kontraproduktif terhadap kesehatan pertumbuhan demokrasi Indonesia.

Kampanye Pilpres Satu Putaran dengan Kemenangan SBY, dapat membunuh semangat penyemarakan pesta demokrasi rakyat. Dan ini akan berakibat berkembangnya semangat golput. Karena sejujurnya SBY bukanlah yang terbaik bagi perjalanan reformasi. Reformasi yang antara lain menghendaki penataan kembali struktur pemerintahan yang dapat menjamin terwujudnya Pancasila dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Dan itu tidak terlihat signifikan pada kepresidenan SBY.

Yang saya pahami, para golputers cerdas menempatkan kelemahan pelaksanaan demokrasi di Indonesia sebagai penyebab pilihan golput. Tetapi dengan mengganti-ganti pejabat presiden tiap periode, akan mempercepat perbaikan pelaksanaan demokrasi kita. Karena itu sebaiknya para golputers berubah warna. Bila kekecewaan menguat dalam lima tahun terakhir, pilih ABS (Asal Bukan SBY) maka itu lebih baik dari pada tidak memilih. Selebihnya, agar pendukung kampanye Pilpres Satu Putaran dapat lebih menghargai bangsanya sendiri dengan tidak menjadikannya sekedar obyek kemenangan.

Salam Merah Putih !!!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline