Lihat ke Halaman Asli

Mengkhawatiri Kerusuhan Teheran di Jakarta

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin berlebihan, tapi rasanya perlu kita waspada. Siapa pun pasti tidak menginginkan ada nyawa melayang, ratusan orang ditangkap, ketakutan merasuk dan mengganggu aktivitas keseharian. Pokoknya, ribet. Tapi yang tidak menginginkan hal seperti itu, adalah orang-orang seperti saya yang kepentingannya dengan peraihan posisi kekuasaan tidak kebangetan. Berbeda dengan mereka yang telah mematok harga 'harus menang', tentu tidak siap kalah.

Capres di Iran hanya ada dua. Ahmadinejad dan Moussafi. Moussafi sang penantang, kabarnya, dielus-elus oleh Amerika dan negara-negara sekutunya di Eropa. Soalnya, Ahmadinejad dianggap pemimpin yang 'keras kepala'. Membangun masyarakatnya dalam konsepsi Islam dan mengembangkan sistem energi berteknologi nuklir yang tidak bertautan dengan Amerika dan sekutu Eropanya.

Dua hal di atas yang membuat Amerika, --atas rengekan Israel,-- terus menekan pemerintahan Iran dibawah Ahmadinejad. Kemajuan teknologi nuklir yang (diduga) didukung Rusia, menakutkan Israel dan Amerika serta sekutunya. Iran dianggap ancaman, terutama bila penguasaan teknologi nuklirnya dikembangkan untuk kepentingan militer. Masyarakat Islam konservatif tanpa nuklir saja sudah sangat merepotkan kepentingan Barat, apa lagi bila persenjataan mereka semakin canggih.

Moussafi pun dipatok 'harus menang'. Tapi, Ahmadinejad unggul. Maka kesempatan chaos harus diambil. Rusuhlah Teheran.

Pemimpin spiritual tertinggi Iran, Ayatullah Khameini berbicara tidak seperti biasanya. Tahun-tahun sebelumnya, pemimpin yang sangat dihormati masyarakat Negara Islam Iran itu, hanya berbicara di depan publik dua kali. Idul Fitri dan peringatan ulang tahun Revolusi Islam Iran. 'Hentikan protes, kami tidak akan tunduk.' Kalimat itu tentu bukan untuk Moussafi, tapi yang berdiri pongah dibelakangnya.

Kekhawatiran saya, karena soal patok 'harus menang' itu. Di jelang Pilres kita di Indonesia, makna itu tidak tersimbol dengan kata-kata sama. Kita bisa menangkap makna itu dari kalimat, 'Kami menang dalam satu putaran, tapi siap mengikuti pilpres dua putaran.' Trus kian dekat masa akhir kampanye, 'perseteruan terbuka' semakin seru dimainkan oleh ketiga capres bersama tim sukses masing-masing. Kata-kata dalam 'perang agitasi' pun sudah semakin menohok. Dan catatan buruk, ada iklan kampanye yang diboikot.

Para blogger pasti bisa menderet catatan-catatan 'pemanas-manasan' rakyat yang terjadi. Mulai dari pengrusakan gambar capres, bunyi spanduk yang menyerang pesaing dan seterusnya. Dan bukan itu saja alasan terbuka itu saja yang membuat saya khawatir, tapi lebih dari itu, karena di masing-masing capres berderet 'bintang-bintang'.

Salam Merah Putih !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline