Lihat ke Halaman Asli

Memandang Kompasiana dari Sisi Lain

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tulisan ini terinspirasi oleh selalu adanya teman-teman Kompasioner yang sering merasa kecewa oleh apresiasi Admin Kompasiana. Pada umumnya kekecewaan terjadi karena teman-teman Kompasioner “merasa” kurang mendapat apresiasi yang layak.

Seperti kita tahu, dalam rangka mengapresiasi artikel-artikel Kompasioner, maka Admin Kompasiana memberikan bentuk-bentuk apresiasi dengan memposting beberapa artikel di beberapa kolom khusus seperti: Headline (HL), Highlight, Terekomendasi, Teraktual, Inspiratif, Bermanfaat, Menarik dan Topik Pilihan.

Bisa dipahami bahwa Admin Kompasiana menyediakan kolom-kolom khusus tersebut dalam rangka sebanyak mungkin bisa mengapresiasi artikel-artikel teman-teman Kompasioner, sehingga teman-teman Kompasioner merasa dihargai dan diakui hasil tulisannya.

Namun demikian, toh tetap saja masih sering timbul kekecewaan di kalangan teman-teman Kompasioner karena tetap saja harapan utama mereka adalah menempati kolom “Headline”.

Saya bisa memahami harapan teman-teman Kompasioner tersebut. Pada dasarnya bagi teman-teman Kompasioner artikel atau tulisan adalah hasil karya dari olah pikir yang merupakan suatu “Intellectual Property”. Tentu saja karya tersebut mempunyai arti penting bagi mereka karena tulisan tersebut merupakan suatu puncak dari hasil olah pikir mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa dari diri si penulis secara naluriah akan muncul suatu tuntutan akan adanya apresiasi dari Admin Kompasiana dan pembaca. Disini dorongan naluri subyektifitas dari si penulis cukup menonjol. Bisa dipahami bahwa itu adalah hal yang manusiawi. Hal yang demikian tidak mungkin dinafikan oleh Admin Kompasiana. Bagaimanapun Kompasiana bisa besar dan berkembang karena sumbangsih hasil olah pikir yang berbentuk tulisan dari teman-teman Kompasioner.

Dari kedua situasi yang ada tersebut saya melihat bahwa antara usaha Admin Kompasiana dan harapan apresiasi dari Kompasioner tetap saja akan sulit bertemu secara ideal.

Idealisme teman-teman Kompasioner tersebut mau tidak mau pada akhirnya akan mengarah pada suatu anggapan bahwa Admin Kompasiana “tidak mampu” memahami dengan baik tulisan mereka. Kalau situasi ini sudah memuncak, maka tidak jarang para Kompasioner mencari jalan lain, yaitu misalnya: Membuat blog pribadi, Berhenti menulis, Meninggalkan Kompasiana dan lain-lain.

Di sisi lain Admin Kompasiana merasa sudah bekerja dan berusaha optimal, berbagai bentuk apresiasi sudah mereka upayakan, yaitu dengan menyediakan berbagai kolom khusus (Headline, Highlight dan sebagainya). Bisa jadi dalam hati mereka ada suatu anggapan bahwa mereka sudah bersusah-payah menyediakan “Forum Kompasiana”, dan toh masih juga dituntut terus, manusiawi juga kalau pada akhirnya mereka merasa kesal.

Saya ingin mencoba menyampaikan suatu “pengalaman pribadi” dan “pengalaman Kompasioner lain” yang saya catat dan mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan tentang bagaimana kita menyikapi situasi yang demikian.

Secara tidak sengaja teman-teman saya di Jakarta mendapatkan bahwa ada berbagai istilah yang “typical” dan “unik” dari berbagai artikel Kompasiana yang dikutip oleh Para Pengamat Politik/Ekonomi, Host TV, Politisi, Pejabat Negara dan sebagainya. Ini mereka ketahui pada berbagai acara talkshow di berbagai stasiun TV di Jakarta.

Juga sudah kita dengar bahwa Prof. Mahfud MD dan Marzuki Alie menyatakan bahwa mereka selalu mengikuti artikel-artikel di Kompasiana.

Demikian pula ada teman saya yang menjadi bagian dari think tank dari suatu parpol besar, dia sering mengikuti artikel-artikel di Kompasiana. Dia bahkan mengakui bahwa banyak tulisan bagus di Kompasiana yang dia anggap cukup orisinal meskipun tulisan tersebut “tidak masuk“ Headline, dan bahkan tidak masuk di kolom-kolom khusus lainnya. Dia mengakui, artikel-artikel itu dia jadikan referensi dalam perumusan kebijakan di parpol dia.

Dari berbagai informasi teman-teman tersebut dapat saya ambil kesimpulan bahwa pada umumnya tulisan-tulisan di Kompasiana mempunyai mutu yang lumayan bagus dan sering cukup “Orisinal” ideanya. Dan, yang patut dibanggakan adalah bahwa banyak tokoh penting di negeri ini telah mengambil berbagai tulisan di Kompasiana sebagai referensi dan inspirasi mereka.

Saya masih ingat bahwa beberapa waktu lalu ada berbagai tulisan dan komentar di Kompasiana yang menekankan perlunya unsur “Pendidikan” dan “Kebudayaan” disatukan dalam satu Kementerian, yaitu mengingat “Pendidikan” dan “Kebudayaan” bagai dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan. Apa jadinya jika suatu “Pendidikan” tanpa “Roh Kebudayaan”? Manusia bisa jadi pandai namun dirinya mengalami kekeringan jiwa, bak suatu “Robot”. Dan, akhirnya di reshuffle KIB-2 Pak Beye telah menyatukan kembali kedua unsur tersebut dalam wadah “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan”. Apakah itu mengambil referensi dari Kompasiana? Bisa jadi.

Dan saya yakin masih banyak lagi hal-hal yang demikian yang tidak disadari oleh Kompasioner bahwa banyak sekali “Silent Reader” danjuga yang menjadi “Silent Citer” (orang yang mengutip diam-diam) di luar sana yang telah menjadikan berbagai tulisan di Kompasiana sebagai referensi dan inspirasi mereka.

Mengetahui situasi yang demikian, maka nampaknya cukup bijak jika mengambil sikap bahwa Kompasiana ini bak “Jendela”. Dari “Jendela” itulah kita bisa dikenal dan menjadi inspirasi bagi orang lain, dan dari “Jendela” itu pulalah kita bisa membuka cakrawala lebih luas di luar sana. Dengan begitu maka cakrawala kita tidak lagi sekedar hanya pada “Rumah Kompasiana” yang mempunyai keterbatasan. Ketidakterbatasan justru kita dapatkan dari “Filosofi Jendela” tersebut.

Semoga sumbangan pemikiran ini bermanfaat.

Salam Kompasiana.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline