Lihat ke Halaman Asli

Cerita Lebaran dari Negeri Seberang

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aku adalah seorang pelajar Indonesia di Malaysia yang tengah melanjutkan studi demi meraih gelar sarjana muda. Perlu diketahui kampusku tidaklah bertempat di pusat kota, tidak dekat dengan pemukiman penduduk, tapi cukup ramai warga di dalamnya.  Tahun lalu dengan berat hati aku harus merayakan lebaran di kampus tanpa bisa berkumpul bersama sanak saudara di kampung halaman. Kenapa? Harga tiket melonjak drastis. Keterbatasan dana. Waktu liburan yang sangat singkat. Itu adalah beberapa alasan mengapa aku tidak bisa mudik ke tanah air. Oke, bagaimana rasanya? Sepi. Satu kata yang dapat menggambarkan suasana lebaran di sana. Hampa. Kata lain yang bisa mewakili perasaanku kala itu. Ya, lebaran di negeri tetangga itu ternyata tidak enak. Tidak ada ronda sahur keliling. Tidak ada pawai bedug keliling di malam takbiran. Tidak ada tradisi sungkeman selepas sholat Ied di hari raya.Makanan lebaran yang berbeda yang rasanya tidak sama dengan masakan di tanah air. Tidak ada tanda-tanda kalau lebaran telah tiba. Terlebih-lebih yang membedakannya adalah warung-warung makan tetap buka dengan menunjukkan orang-orang yang makan di dalamnya secara terang-terangan. Ya, negeri tetangga ini memang tidak didominasi besar oleh orang muslim. Cukup banyak juga warga non muslim di dalamnya. Teman-temanku yang non muslim itu tanpa malu makan dan minum dengan sengaja di depan kami yang berpuasa. Hal yang sangat jarang kita temukan di tanah air. Walaupun tidak sedikit juga warga Indonesia yang bukan muslim, mereka tetap menghormati dengan tidak makan dan minum di depan kita. Ya dapat dikatakan kalau itu semua karena perbedaan tradisi berpuasa dan berlebaran antara negeri kita dengan negeri tetangga seperti yang telah kujelaskan di atas. Kalau di tanah air suasan Ramadhan sangat kentara dan terasa. Di sana tidak. Oh ya satu lagi perbedaan yang cukup terlihat yaitu tradisi mudik lebaran. Hal itu tidak bisa kurasakan di negeri tetangga ini.

Pernah temanku bertanya, lebaran di Indonesia seperti apa ya? Dan aku pun menjelaskan dengan detail kalau suasana puasa dan lebaran di Indonesia akan sangat terasa di berbagai pelosok. Pergi ke mall akan dijumpai banyak diskon besar-besaran menyambut lebaran, lagu-lagu Islami pun mengalun di dalamnya. Acara radio dan televisi pun akan berkisah seputar Ramadhan dan lebaran. Tak ketinggalan papan iklan di jalanan yang menampangkan ucapan "Selamat menjalankan ibadah puasa" ataupun "Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin". Menjelang lebaran akan tersiar berita mengenai arus mudik, begitu juga setelah lebaran yang meninformasikan suasana arus balik. Secara keseluruhan, puasa dan lebaran di Indonesia memang berbeda dari negara-negara lain. Sangat nikmat rasanya merayakan hari kemenangan bersama sanak saudara di kampung halaman. Suasana ramai dan bahagia meliputi hati kita. Tradisi ini perlu kita jaga dan lestarikan serta bisa juga untuk diperkenalkan kepada negara-negara lain bahwa Indonesia itu adalah negara yang unik, penuh dengan sejuta budaya nan indah.

Nggak lagi-lagi deh jadi bang Toyib yang nggak pulang waktu lebaran karena lebaran di negeri orang itu tidak enak rasanya. Sepi, sedih, hampa karena tidak bisa bertemu sanak saudara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline