Lihat ke Halaman Asli

Anthony Winza Probowo

MPA Harvard University, LL.M. Georgetown University.

Menunggu Putusan WTO: Bom Waktu bagi Hilirisasi dan Target Pertumbuhan 8%

Diperbarui: 10 Oktober 2024   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kebijakan hilirisasi nikel Indonesia merupakan salah satu strategi pertumbuhan ekonomi yang gencar dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di era Presiden Joko Widodo, dengan tujuan untuk mengubah peran Indonesia dari sekedar eksportir barang mentah menjadi pusat industri bernilai tambah. Hilirisasi ini juga akan menjadi salah satu program yang dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran kedepan dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%.

Namun, kebijakan hilirisasi ini tidak lepas dari tantangan global. Uni Eropa (UE) telah "menggugat" Indonesia di World Trade Organization (WTO) dengan tuduhan bahwa pembatasan ekspor nikel dianggap melanggar Pasal XI dari Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT 1994) yang melarang negara-negara anggota WTO untuk memberlakukan pembatasan kuantitatif ekspor. adapun Indonesia berdalih bahwa kebijakan hilirisasi nikel ini sudah sesuai dengan Pasal XX(d) GATT, yang pada intinya menyatakan bahwa pembatasan ekspor nikel diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keputusan WTO pada November 2022 yang memenangkan klaim Uni Eropa tersebut menjadi pukulan berat bagi strategi hilirisasi Indonesia. Indonesia telah mengajukan banding namun proses ini terhenti akibat lumpuhnya Badan Banding (Appelate Body) WTO. Lumpuhnya badan ini akibat Amerika Serikat tidak memberikan persetujuan terhadap pengisian kekosongan hakim banding WTO. Kelumpuhan ini memang disatu sisi memberikan kesempatan untuk mengulur waktu bagi Indonesia untuk mempertahankan kebijakan hilirisasinya. Namun, situasi ini bagaikan bom waktu yang bisa meledak di masa depan, karena jika Badan Banding kembali berfungsi dan memutuskan untuk menyatakan Indonesia melanggar peraturan WTO, maka Indonesia akan kesulitan mempertahankan kebijakan hilirisasinya, dan akan berpengaruh terhadap target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran.

WTO Lumpuh: Ancaman atau Peluang?

Situasi lumpuhnya WTO ini bagaikan pisau bermata dua bagi Indonesia. Di satu sisi, penundaan banding memberikan waktu untuk mempertahankan kebijakan hilirisasi dan mendorong pembangunan industri nikel domestik. Namun, di sisi lain, ketergantungan pada organisasi perdagangan internasional yang tidak berfungsi dengan baik bisa menjadi bumerang. Tanpa kejelasan dari WTO, Indonesia juga menghadapi tantangan dalam memperjuangkan kepentingannya di sektor-sektor lain, seperti sawit.

Sebagai salah satu eksportir minyak sawit terbesar dunia, Indonesia juga menggugat Uni Eropa atas kebijakan restriktif terhadap impor sawit (EU's Directive 2018/2001), yang dibatasi atas alasan lingkungan. Tanpa WTO yang berfungsi, Indonesia kehilangan instrumen penting untuk membela sektor strategis ini. Hal ini membuat negara harus mencari solusi lain di luar WTO untuk melindungi kepentingan nasionalnya.

Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM): Ancaman Baru bagi Ekspor Indonesia

Tantangan Indonesia di kancah perdagangan global semakin rumit dengan diperkenalkannya Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) oleh Uni Eropa. CBAM adalah kebijakan yang menerapkan pajak karbon pada produk impor dari negara-negara yang regulasi lingkungannya dianggap lebih lemah. Indonesia, sebagai eksportir baja dan aluminium, termasuk yang paling terdampak oleh kebijakan ini.

Kebijakan CBAM ini dibuat karena adanya kekhawatiran Uni Eropa terhadap membanjirnya barang impor murah dari negara-negara yang belum menerapkan sistem produksi yang rendah emisi karbon, sehingga Uni Eropa merasa perlu melindungi produsen domestik mereka yang telah berinvestasi besar pada teknologi produksi yang rendah karbon.

Dengan diterapkannya CBAM, produk baja Indonesia akan dikenakan pajak tambahan, yang akan menurunkan daya saing di pasar Eropa. Ini tentu bisa berdampak negatif pada pendapatan ekspor Indonesia dan mempersulit pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8% yang diusung pemerintahan Prabowo-Gibran.


Bagi Indonesia, kebijakan CBAM ini menambah tantangan tersendiri dalam isu perdagangan internasional, terutama karena Indonesia adalah eksportir penting  baja dan aluminium ke Eropa, produk-produk tersebut kemungkinan akan dikenakan biaya tambahan berdasarkan kebijakan CBAM. Hal ini dapat mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di pasar Eropa, yang dapat berdampak negatif terhadap pendapatan ekspor dan berujung pada terganggunya target pertumbuhan ekonomi 8% Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline