Lihat ke Halaman Asli

Menghidupkan al-Quran dan as-Sunah

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Memaknai Tahun Baru Hijriah 1435

Menghidupkan al-Quran dan as-Sunah

Oleh Antho M. Massardi

Memperingati tahun baru Hijriah tentu bukan sekadar mengganti angka 1434 menjadi 1435, sebagai penambahan waktu satu tahun atas hijrahnya Rasulullãh Muhammad shallallãhu ‘alaihi wasallam dari Makkah ke Madinah.

Memaknai tahun baru hijriah lebih daripada itu. Perintah hijrahnya Nabi dengan para sahabat yang beliau pimpin dari suatu keadaan jahiliah (tanpa etika di Makkah) menuju masyarakat yang lebih baik (dan bernalar di Madinah), terutama adalah agar Nabi menemukan hikmah dan perspektif baru bagaimana mewujudkan Islam sebagai rahmat dan keselamatan bagi semesta alam. Dengan keluar dari kejumudan situasi dan kondisi budaya masyarakat yang  “bertempurung kelapa” menuju masyarakat “berwawasan ilmu”, memudahkan tugas Nabi meneladankan apa yang dijanjikan Tuhan dalam al-Quran yang diwahyukan dan diajarkan kepadanya.

Makna hijrah dalam konteks kekinian situasi dan kondisi akhlak yang terjadi di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tentu menjadi sangat relevan. Kebobrokan akhlak para penyelenggara negara pengemban amanat Allãh, Rasulullãh, dan amanat umat (QS al-Anfãl [8]: 27) dalam berbagai skandal rusaknya moralitas dan integritas sebagai pejabat publik, terutama dalam kasus korupsi keuangan negara, memang sangat buruk. Bahkan ironis, karena mayoritas dari pelaku korupsi, pelaku kejahatan luarbiasa itu adalah mereka yang memiliki persepsi tinggi di bidang akademi dan agama. Berbagai modus korupsi terjadi secara masif hampir di semua level jabatan dan tersebar di banyak instansi pemerintahan pusat hingga ke seluruh provinsi-kabupaten-kota di negeri ini.

Apakah “kejahiliahan” para aparatur pemerintahan itu akibat salah kaprah dalam menafsirkan “Matematika Pahala dan Teologi Korupsi” yang memiriskan itu, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Munir Mulkhan (Kompas 28 Oktober 2013)? Apakah betul kita perlu cepat melakukan  tafsir ulang dan rekonstruksi teologi korupsi, bahwa kejahatan luarbiasa itu semakna dengan syirik yang tidak diampuni Tuhan? Padahal, ”Siapa yang tidak memerdulikan dari mana dia mendapatkan harta, maka Allãh tidak akan memerdulikan dari pintu mana dia akan dimasukkan ke neraka Jahannam,” (HR. Ibnu Umar).

Dua Wasiat Nabi

Menjelang Rasulullãh shallallãhu'alaihi wasallam wafat, berliau meninggalkan dua wasiat kepada umatnya, agar menggigit dan berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunah. “Aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan kepadanya, yaitu Kitabullãh dan sunah Rasulullãh,” (HR. Muslim). Kitabullãh adalah firman Allãh dalam 6.236 ayat al-Quran yang menjelaskan tanda-tanda kekuasaan-Nya atas seluruh alam semesta, terutama yang ada dalam diri kita, termasuk sebab-musabab, konteks, maksud-tujuan, hikmah atau filsafat-hakekat dari ayat-ayat itu diturunkan untuk dijadikan pelajaran bagi orang-orang yang berpikiran logis. Sunah Rasulullãh adalah semua ucapan beliau yang diteladankan dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata selama 22 tahun 2 bulan 22 hari kenabian dan kerasulan Muhammad shallallãhu'alaihi wasallam di Makkah dan Madinah sampai beliau wafat.

Apabila kedua wasiat tersebut betul-betul diyakini dengan iman dan dilaksanakan penuh ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak memerlukan tafsir apa pun lagi atas al-Quran dan Sunah Rasul. Karena kaum Muslim percaya bahwa Islam adalah agama sempurna yang telah dicukupkan nikmat-Nya dan telah diridhai-Nya menjadi agamamu, (QS al-Maidah [5]: 3) dan percaya bahwa keotentikan al-Quran terjamin sampai akhir zaman, “Kamilah yang menurunkan al-Quran dan sungguh Kami benar-benar memeliharanya,” (QS al-Hijr [15]: 9). Demikian pula terhadap sunah, kaum Muslim percaya bahwa dalam diri Rasulullãh terdapat suri teladan yang baik bagimu (QSal-Ahzab [33]: 21) dan beliau benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS al-Qalam [68]: 4), sehingga mustahil sunah beliau menyalahi kehendak-Nya. Bahkan ketika Aisyah radhiallãhu anha ditanya tentang akhlak Nabi, beliau berkata “Akhlak Nabi shallallãhu'alaihi wasallam adalah al-Quran”; dalam hadis lain diriwayatkan, “Nabi shallallãhu'alaihi wasallam adalah al-Quran hidup”.

Menghidupkan al-Quran

Sebagai hamba, Nabi, dan Rasulullãh yang mendapat perintah Iqra, membaca seluruh tanda-tanda kekuasaan-Nya, beliau mendapat anugerah dari Allãh berupa ilmu serta hikmah dapat memahami apa yang terkandung dalam al-Quran dan Sunatullãh, seperti yang dikehendaki-Nya, sebagai karunia-Nya yang banyak. Apalagi setelah beliau mendapatkan anugerah ilmu dan hikmah “relativitas ruang dan waktu” dalam peristiwa Israk dan Mikraj, sehingga beliau memahami betul bahwa Allãh sungguh titik Awal sekaligus titik Akhir dari seluruh putaran tawaf seluruh semesta alam. “Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran dari firman Allah (memiliki ilmu pengetahuan dan keluasan wawasan,” (QS al-Baqarah [2]: 269).

Dengan ilmu serta hikmah itulah Rasulullãh menghidupkan—bukan membumikan—al-Quran sehingga menjadi akhlaknya dan menjadikan dirinya al-Quran hidup, menjadi suri teladan yang baik bagi manusia, benar-benar berbudi pekerti yang agung, contoh orang budi-man—berbudi luhur dan beriman kepada kekuasaan mutlak Tuhan—serta sebagai pembawa rahmat dan keselamatan untuk semesta alam. Karena Rasulullãh selalu menghidupkan firman Allãh dalam al-Quran, maka beliau selalu berada bersama Allãh. Itu sebabnya Rasulullãh bersabda, “Barangsiapa yang menghidupkan sunahku, maka dia seolah-olah hidup bersamaku”.

Khalifatullãh

Apabila kaum Muslim dapat menghidupkan al-Quran dan sunah Rasul sebagai akhlak budi-man, maka akan memiliki kebijaksanaan Allãh dan Rasulullãh dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan itulah dia memahami rumusan “suara dan kehendak rakyat = suara dan kehendak Tuhan” sebagai tugas, amanah yang wajib dilaksanakannya. Tidak berkhianat juga tidak berkata dusta. Dengan pedoman itulah dia akan memiliki akhlak mulia dan jiwa ksatria. Dengan akhlak dan jiwa ksatria itulah dia akan menjalani takdir hidup dan kepemimpinannya di dunia. Dan, takdirnya itulah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa. Mereka itulah orang-orang beriman yang masuk dalam Islam secara kaffah, keseluruhan (QS al-Baqarah [2]: 208).

Orang seperti itulah yang dimaksud oleh Plato dalam frasa, "seorang politikus harus seorang begawan". Dalam literatur Islam, mereka yang memiliki akhkak seperti itulah yang disebut Khalifatullãh fil ardhi, utusan Allãh di muka bumi. Merekalah orang yang apabila dibacakan al-Quran mendengarkan dengan baik, memerhatikan dengan tenang agar mendapat rahmat, selalu menyebut nama Tuhan dalam hati dengan penuh harap dan cemas, tidak mengeraskan suaranya, pada waktu pagi dan petang, dan tidak lalai (QS al-A’rãf [7]: 204-205).

Para pemimpin seperti itulah yang kita butuhkan sekarang, yang tidak lalai, yang amat takut mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakannya, karena mereka tahu konsekuensinya: “Amat besar kebencian di sisi Allãh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan,” (QS ash-Shaff [61]: 3). Pemimpin yang betul-betul Iqra membaca teks dan konteks al-Quran dan as-Sunah dengan maknanya, sehingga dapat memahami, mengamalkan, menghidupkan al-Quran dan as-Sunah Rasulullãh secara baik, benar, kaffah sebagaimana yang dikehendaki Allãh dan diteladankan Rasulullãh. Pemimpin sepesti itulah yang akan memahami pluralisme dan kebhinnekaan bangsa kita menuju situasi dan kondisi yang lebih baik, adil dan makmur, pada 100 Tahun Kemerdekaan NKRI 2045.

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin (pengikut syariat Nabi terdahulu), siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allãh, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati,” (QS al-Baqarah [2]: 62). Wallãhu’alam. @




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline