Lihat ke Halaman Asli

#BahuJalanUntukMotor

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

#BahuJalanUntukMotor

Oleh Antho M. Massardi

Setiap hari, warga Jakarta yang beraktivitas ke luarrumah, juga warga Bogor-Tangerang-Bekasi-yang melintas ke Jakarta, akan langsung disergap suasanakemacetan dan kesemerawutan lalulintas. Mereka akan menjadi pelaku sekaligus korban ketergesaan kota megapolitanIbukota.

Setiap pengguna jalan kemudian merasa paling berhakdan paling benar berperilaku di jalan raya. Bus, angkot, juga taksi, berhenti menaik-turunkanpenumpang seenaknya di mana saja; pengguna mobil tidak kalah akal memakai semuabadan jalan; pesepeda motor tidak kalah gesit tapi kadang serampangan menyelip—mengambilsetiap peluang ruang jalan yang tersisa di antara kendaraan. Di beberapa ruasjalan, bahkan banyak pesepeda motor menerobos rambu lalulintas dan melawan arus,layaknya pejalan kaki, pesepeda, dan penarik gerobak dagangan. Alih-alih di rimba raya, hukum yang dianut oleh para penggunajalan mirip hukum rimba, sehingga mereka berprinsip “siapa cepat tak akan terlambat”,tanpa mengindahkan kenyamanan dan keselamatan bersama di jalan raya.

Pertanyaannya, mengapa Jakarta langganan kemamacetan(juga langganan kebanjiran)? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada dua jawabansederhana. Pertama, jawaban konyol tapi serius, karena berlangganan kemacetan, Gubernur PemprovDKI tidak harus membayarnya alias gratis, yang membayarnya adalah semuaperilaku pengguna jalan, termasuk rakyat—dalam masalah ini diwakili olehpemerintah yang selalu dikisahkan bahwa negara menyubsidi ongkos BBM rakyat ratusan triliun per tahun dalamAPBN. Kedua, karena pemerintah pusat dan daerah tidak pernah serius dan menyeluruh dalam mengatasi silang sengkarutkemacetan Ibokota NKRI Jakarta Raya.

Data dan fakta

Menurut logika saya, sebagai pesepeda motor di Jakarta sejaktahun 1981, kemacetan lalulintas di Jakarta, juga di kota-kota besar lainnya, bukanhanya akibat adanya mobilitas penduduk dari-ke kota-kota di sekitarnya. Dalamhal Jakarta adalah mobilitas penduduk Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Menurutsebuah penelitian, rata-rata penduduk di Jabodetabek melakukan perjalanan duakali per hari. Sementara transportasi umum massal dari-ke kota-kota Jabodetabek belummemadai, tidakterintegrasi, tak saling terhubung, belum nyaman dan aman. Infrastruktur jalannya sering rusakakibat amblesan atau terendam saat musim hujan, ratio panjang jalannya tidaksebanding dengan luas wilayah dan jumlah kendaraan, serta nyaris semua jalan diJakarta tanpa trotoar untuk pejalan kaki dan tanpa bahu jalan untuk gerobak,pesepeda, pesepeda motor, atau untuk keadaan darurat, sehingga rawan terjadikemacetan akibat arus lalu-lintas tersumbat di titik-titik tersebut.

Polda Metro Jaya merilis data kendaraan yangmelintas di Jakarta (Januari-Desember2013) pada hari kerja berjumlah 16.043.689.Rinciannya: motor 11.929.103 (74,35 persen); mobil 3.003.499; bus 360.022;mobil barang 617.635, dan kendaraan khusus 133.430. Jumlah kendaraan tersebut taksebanding dengan panjang jalan di Jakarta yang hanya 7.208 kilometer (6,2persen luas DKI), sehingga menimbulkan kemacetan. Padahal, minimal Jakarta harusmemiliki 12.000 kilometer panjang jalan.

Kemacetan tersebut ditambah kesemerawutannya11.929.103 pesepeda motor—belum ditambah 733.736 unit mobil dan 4,62 juta motor baru (hingga Juli 2014)—yang akanmemadati lalulintas jalan dari-ke kota-kota Jabodetabek. Jika ditambah efek kenaikan BBM bersubsidi, ditaksir  jumlahpesepeda motor hingga Desember 2014 akan meningkat lebih dari 7 juta. Jumlah tersebut dipastikan akan menambahkemacetan dan risiko rawan kecelakaan lalu-lintas. Tahun lalu Polda Metro Jayamerilis data, bahwa di Jakartaper hari rata-rata terjadi 20 kecelakaan lalulintas yang melibatkan motordengan korban tiga orang tewas, sejalan dengan data Dinas Perhubungan DKI yangmenyebutkan 3.000 pesepeda motor meninggal dalam kecelakaan lima tahunterakhir.

Solusi

Membaca data dan fakta di atas, menurut logikasederhana saya, usaha mengurai kemacetan lalulintas di Jakarta yang dilakukan Gubernur Pemrprov DKIJakarta, 17 Desember 2014 hingga 17 Januari 2015, dengan mengujicobapemberlakuan pembatasan pesepeda motor atau “Kawasan Bebas Sepeda Motor” diporos jalan Bundaran HI (Sudirman)-Thamrin-Medan Merdeka Barat-Harmoni, sejauhsembilan kilometer, itu tidak akan efektif. Walaupun kebijakan tersebut diikutidengan pemasangan 33 rambu larangan pesepeda motor, penyediaan 10 bus tingkatgratis, serta penambahan30 bus transjakarta dan area parkir yangtidakgratis karena akanmembebani biaya hidup mereka. Kebijakan tersebut bukan hanya tidak praktis, jugatidak ekonomis. Bayangkan,  dana sebanyak itu dikeluarkan hanya untukmemfasilitasi 2.100 (20 persen dari 10.500) pesepeda motor dan mobilitas merekayang melintas di sana (Kompas,17 Desember 2014). Padahal motor yang melintas di Jakartadari-ke kota Jabodetabek, hari inisaja,sudah lebih dari 15 juta per hari.  Dan, mereka adalah 74,35persen penggerak perekonomian Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline