Tak dapat dipungkiri demo besar-besaran yang dilakukan oleh ribuan sopir angkutan umum yang tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melakukan aksi unjuk rasa mendesak kepada Pemerintah untuk memberi tindakan tegas berupa Pembekuan Operasional Perusahaan Aplikasi jasa angkutan darat (Gojek, Grab dan Uber) serta perusahaan Aplikasi lainnya menjadi titik balik dari sikap pemerintah yang seakan tidak memperdulikan permsalahan angkutan umum ini.
Apabila berkaca pada penyebab demonstrasi ini tidak salah para sopir angkutan umum ini berunjuk rasa karena merasa ada ketimpangan perlakuan dari pemerintah antara angkutan umum yang resmi dengan angkutan umum yang berbasis aplikasi , sebagai negara demokrasi yang mengutamakan prinsip kebebasan berpendapat demonstrasi ini memang dilegalkan akan tetapi sangat disayangkan mengapa kegiatan ini diakhiri dengan tindakan anarkis.
Apabila ditinjau mengenai urgensi pengaturan UU No. 22 Tahun 2009 tentang angkutan umum adalah membantu mewujudkan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa angkutan, baik itu pengusaha angkutan, pekerja (sopir/ pengemudi) serta penumpang. Dalam kasus konflik antara angkutan umum dan online transportasi online ini apabila ditinjau secara yuridis kehadiran angkutan online ini melanggar perundang-undangan terkait perizinan seperti penggunaan plat nomor polisi hitam dan penerapan tarif yang tidak melalui mekanisme persetujuan pemerintah dan standar pelayanan minimum yang beragam.
Selain dari mekanismenya yang menyalahi undang-undang kehadiran ojek online juga dianggap menghadirkan suatu jenis moda transportasi umum baru yang tidak diatur sebagaimana didalam UU No. 22 Tahun 2009 mengatur bahwa angkutan umum hanya terbatas pada kendaraan roda empat dan lebih. Artinya sepeda motor tidak bisa dikatakan angkutan umum menurut UU maka harus ada kebijakan dan syarat yang harus dipenuhi oleh para pengendara roda dua. Salah satunya adalah kelengkapan administrasi dan jaminan keamanan. Pendek
Kemunculan aneka jenis angkutan jasa transportasi selain angkutan umum tersebut, pada intinya menunjukkan gagalnya sistem transportasi yang diterapkan pemerintah bagi masyarakat.Selain itu masalah ketimpangan perlakuan pemerintah disini adalah mengenai penerapan regulasi yang seakan berlaku "strict" kepada angkutan umum sedangkan angkutan online seakan tidak tersentuh hukum. Hal yang terasa memberatkan dari perlakuan ini adalah adanya pajak yang harus dibayarkan oleh angkutan umum resmi yang harus disetorkan ke pemerintah.
Sedangkan angkutan berbasis online tidak ada kewajiban untuk membayarkan pajak sehingga berimplikasi munculnya persaingan transportasi online dengan angkutan umum tidak seimbang yang lebih merugikan angkutan umum. Sebab, tarif transportasi online lebih murah. Sekarang ketidak jelasan status transportasi online ini semakin diperburuk dengan tidak ada kewajiban untuk penyetoran pajak kepada pemerintah, yang logikanya transportasi online ini sejatinya menjalankan usaha yang turut menggunakan fasilitas negara artinya relevan jika pemberlakuan pajak bagi transportasi online diterapkan.
Disinilah kehadiran pemerintah untuk memberikan solusi bagi kedua belah pihak, yakni penyedia jasa transportasi online maupun pengusaha kendaraan umum yang resmi. Karena kehadiran transportasi online memang tidak bisa kita cegah karena merupakan implikasi dari perkembangan teknologi dan tuntutan pemenuhan kebutuhan masyarakat modern. Bagian perlu yang dibenahi adalah dari segi pengaturan angkutan umum yang harus diperbarui karena sejatinya hukum selalu dapat mengikuti dinamika perkembangan kehidupan manusia.
Opsi yang ditawarkan permasalahan ini sebenarnya tidak terlepas dari ketentuan yang diatur Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 101 tahun 2014 tentang angkutan jalan bahwa semua pengusaha angkutan harus berbadan hukum hal ini sebenarnya ditujukan membantu pengusaha angkutan umum dalam memperbaiki pelayanan. Artinya kendaraan umum baik angkutan barang maupun orang hanya bisa dimiliki oleh badan hukum.
Badan hukum yang dimaksud adalah BUMN, BUMD, Perseroan Terbatas, dan Koperasi. Walaupun harus berubah menjadi badan hukum, namun implementasi dari peraturan ini sebenarnya sangat meringankan bagi pengusaha angkutan umum karena bagi yang sudah berbadan hukum akan mendapatkan pengurangan pajak baik itu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), maupun Biaya Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Bahkan pengurangan pajak bisa mencapai 70 persen.
Jadi ini terkait bagaimana langkah pihak angkutan berbasis online ini apakah akan melebarkan sayap menjadi penyedia jasa angkutan atau hanya menjadi penyedia jasa aplikasi. Apabila pihak angkutan online ini memang memutuskan untuk terjun menjadi penyedia jasa saya rasa atmosfer persaingan tidak sehat potensial terjadi, Berbeda halnya jika mereka hanya sebagai penyedia jasa aplikasi artinya pihak transportasi online ini hanya menjadi partner para sopir angkutan umum.
Saya rasa opsi ini relevan untuk diterapkan terlebih lagi upaya ini turut mendukung langkah pembaharuan sistem angkutan umum yang selama ini masih tertinggal karena artinya pihak penyedia jasa membuka peluang kepada pengusaha angkutan umum lain untuk turut mencicipi sistem online yang mana hal ini malah mempermudah pihak angkutan umum selain itu pihak penyedia jasa aplikasi pun turut mendapatkan keuntungan atas penggunaan aplikasinya artinya disini ada hubungan timbal balik.
[caption caption="Angkutan umum vs Angkutan Online"][/caption]