Kesenangan dan suka-cita menyambut Idul Fitri tidak hanya berarti, sebagai kembalinya kebebasan kita untuk makan, minum dan perilaku melampui batas wajar, setelah satu bulan penuh berpuasa dan mengendalikan nafsu kita.
Akan tetapi pada hari yang fitri ini, hakikatnya kita harus kembali pada fitrah awal penciptaan kita sebagai manusia, dan menyadari betul batas-batas norma yang berakal-sehat. Kita sudah saatnya memahami dengan benar, apa filosofi dan makna hari yang fitri menurut tinjauan syari'at.
Ternyata, apa yang menjadi tujuan Idul Fitri diatas seakan hanya pepesan kosong, tanpa makna dan tanpa proses penyadaran. Idul Fitri atawa lebaran tidak lebih atawa identik dengan kegiatan piknik, jalan-jalan dan pergi ke tempat-tempat wisata.
Hal ini terjadi di luar prediksi semua pihak. Ketika mudik dibatasi, maka mall dan tempat-tempat wisata membludak tanpa bisa dibendung, kecuali pemerintah hadir untuk menutup lokasi wisata tersebut.
Bagi mereka yang menyadarinya, kata fitri seakar dengan kata fitrah atau Futuur yang berarti memperbaharui makanan. Sedangkan, dalam akhlak disebut fitrah yang artinya suci.
Pada saat Ramadhan umat muslim berusaha membersihkan diri dari dosa, yaitu kita berusaha untuk bisa mengoreksi diri agar Allah Swt membersihkannya dari dosa. Jadi, kata fitrah bisa berarti lembut, suci, bersih.
Pernyataan dari al Quran dan Hadits adalah, bahwa "Setiap yang terlahir, lahir dengan membawa fitrahnya". Seperti juga yang tertuang dalam Firman Allah: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu." (QS. Ar Rum: 30)
Kesadaran kita dalam memasuki hari yang fitri bukan hanya berarti memakai pakaian yang baik, memakan makanan yang baik, namun lebih daripada itu adalah memenuhi segala Asas Fitrah kemanusiaan kita, dengan cara memenuhi kewajiban syari'at yang baik dan benar. Yakni, semakin medekatkan diri kita kepada Allah Swt, dan meninggalkan perilaku yang kurang memiliki kepatutan dan akhlaq yang tidak luhur,
Jika pada waktu Ramadhan, kita dilatih untuk kembali pada tuntunan syari'at, maka pada bulan Syawal manusia dituntut untuk mengimple-mentasikan hasil latihan kita tersebut. Tentu, hasil dari implementasi tersebut harusnya lebih baik dari pada proses berlatih yang dilaksanakan, sehingga perbuatan yang bernilai syari'at tercermin dalam perilaku baik sehari-hari, bukan malah memaki-maki dan berkata-kata kotor kepada orang lain, ketika terusik kenyamanannya.
Selanjutnya, kata 'fitrah' juga menunjuk pada sesuatu yang baik, suci, bersih, lembut, dan ramah. Oleh karena itu, selepas puasa Ramadhan harus kita menjadi tambah lembut, tambah ramah, dan tentunya tambah baik. Bukannya berlaku kasar, nekat atawa menang-menangan dengan orang lain, seakan tak ada hukum positip yang berlaku di negeri ini.
Dalam al-Qur'an ada disebut mengenai kata 'Ied, yaitu ketika al-Qur'an mengisahkan mengenai Nabi Isa as., sebagai berikut : "Isa putera Maryam berdoa : "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama" (Al-Maaidah:114).