Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (First)

Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Menjaga Martabat atau Menjadi Bodoh?

Diperbarui: 26 September 2018   00:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto koleksi pribadi

Saya memutuskan untuk segera meninggalkan pekerjaan di sebuah lembaga pendidikan tinggi, demi sebuah citra diri dan martabat yang tidak pernah ada harganya di tempat tersebut.

Meninggalkan pengetahuan dan pengalaman bekerja belasan tahun, tidak akan menjadi sia-sia jika motifnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, namun lain halnya ketika seseorang memiliki motif yang berbeda dengan saya.

Mungkin ia akan sangat kecewa dan banyak meninggalkan luka ketika hanya uang yang ia cari dalam lembaga tersebut.

Semua ini bertumpu pada citra diri dan martabat yang telah tertanam dalam sanubari. Ketika kita tidak lagi memelihara citra diri dan martabat sebagai manusia, yang mengaktualisasikan profesionalitas kita dalam sesuah institusi, maka nilai diri kita sudah lenyap tak berbekas. Kita akan menjadi faktor produksi yang bisa diperjual-belikan, tidak lebih dan tidak kurang !?

Selanjutnya, masih terkait dengan citra diri dan martabat, seorang teman terpaksa mendirikan jejaring keprofesionalan yang baru, ketika citra diri dan martabatnya terusik oleh kebijakan pengurus sebuah organisasi yang beraroma finansial. Teman saya ini adalah instruktur di bidang komunikasi publik, namun karena tidak dihargai secara psikhis dan finansial, maka ia memperluas jejaring keprofesionalannya sampai ke tingkat nasional.   

Dari dua pengalaman diatas, ternyata, citra diri dan martabat tidak akan tumbuh diatas tanah ketidakadilan, hegemoni kekuasaan yang berdasar pada perbedaan pandangan dan primordialisme. Karena sistem politik dan ekonomi yang sekarang berkembang, hanya memuliakan orang-orang yang sejalan dan sepaham dengan pandangan maerialistik dan primordialisme tertentu. Oleh karena itu, paham ini melegalkan agar orang-orang yang berbeda harus disingkirkan dan dilenyapkan.

Kondisi ini menjadi pemandangan sehari-hari dalam masyarakat kita. Dan, dibalik itu semua, ternyata penjajahan belumlah berakhir, dan mungkin tidak akan pernah berakhir. Jika saja penjajahan ini bisa berakhir, maka kapitalisme, sosialisme, dan ideiologi-idiologi besar lainnya pun akan menjadi tidak berarti, alias selesai pula eksistensinya. Karena setiap idiologi memiliki corak dan gaya hegemoninya masing-masing ?!!

Ketika hampir semua idiologi sedang menyatukan diri dengan dinamika budaya, di setiap tempat dimana budaya masyarakatnya berkembang. Maka idiologi tersebut, tidak terkecuali kapitalisme dan sosialisme, sedang mengambil rupa yang begitu halus dalam bentuk hegemoni budaya. Sehingga orang yang terjajah tidak merasa dijajah, melainkan justru menikmatinya. Hegemoni ini melanggengkan ketidakadilan global yang sudah ada, dan berusaha untuk memberi keuntungan berlimpah untuk beberapa pihak yang menjadi otak utama dari hegemoni ini. Ketika hegemoni dan kekuasaan berbicara, martabat manusia pun terinjak, dan cuma menjadi isapan jempol belaka !!!

Kita memahami bahwa citra diri dan martabat manusia adalah sesuatu yang sudah selalu ada dan tertanam di dalam diri setiap manusia. Bahasa Indonesia punya kata yang amat bagus untuk menyatakannya, yakni, Asasi. Dalam Filsafat Yunani Kuno, Plato, menyatakan bahwa martabat setiap manusia terletak pada jiwanya, yakni unsur yang mengatur tubuh setiap orang, dan membimbing orang itu untuk mencapai keutamaan jiwa yang sejati. Dari sinilah, maka pendidikan merupakan cara untuk mengangkat manusia ke tingkat keluhuran jiwanya, dan bukan sekedar sebagai pencari kerja di masyarakat bisnis, yang sudah selalu diwarnai dengan berbagai ketidakadilan.

Pandangan lain menyatakan, bahwa citra diri manusia merupakan cerminan sang Maha Pencipta. Allah menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya sendiri. Maka dari itu, manusia itu luhur dan lebih tinggi statusnya sebagai mahluk hidup, dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya. Dan, setiap orang memiliki martabat yang luhur, karena setiap orang merupakan cerminan langsung dari Tuhan itu sendiri.

Kemudian, dalam filsafat Eropa Modern, mempersepsikan manusia sebagai mahluk berakal budi yang mampu memahami, sekaligus menguasai alam dengan kekuatan dirinya. Sementara, ilmu pengetahuan modern merupakan hasil dari pemahaman tentang martabat manusia semacam ini. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi, merupakan produk nyata dari kemampuan akal budi manusia, sehingga mampu menjadikan alam ini tunduk untuk melayani kepentingan-kepentingan manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline