Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (First)

Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Reputasi Itu Bukan Realitas, tapi Mimpi Sebuah Realitas

Diperbarui: 16 September 2018   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto koleksi pribadi

Oleh Purwalodra

Demi reputasi seorang atasan, maka saya bersedia untuk mengundurkan diri. Inilah pernyataan bathin yang tertanam dalam sanubari beberapa bulan lalu. Sudah saatnya saya, secara legowo, meninggalkan pengabdian sekian belas tahun di sebuah lembaga pendidikan tinggi. Nampaknya, episode kehidupan ini begitu tragis dan terlihat kejam. 

Namun bagi saya, itu hal biasa dalam konteks kejahatan akademis. Karena dalam dunia pendidikan, kejahatan sering terjadi tapi tak banyak disadari. Semua terselimuti secara hangat dengan label pahlawan tanpa tanda jasa, pengabdian dan label-label lainnya. Pun bahkan, kejahatan di dunia akademis bisa terlihat dengan kasat mata dari perbuatan baik kita. 

Karena dengan kita berbuat baik, justru membuat susah orang lain. Banyak orang pada akhirnya hidup dalam ketergantungan pada kebaikan seseorang. Mereka menjadi malas untuk berani menyuarakan kebenaran, dan tidak mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam hidupnya. Pepatah lama kiranya benar, bahwa jalan ke neraka kerap kali dilapisi dengan kehendak baik !!?

Terkait dengan reputasi yang ditafsirkan sebagai sebuah konsep atau simbol yang dianggap mewakili wujud realitas aslinya. Reputasi seseorang, atau bahkan suatu institusi akademis, merupakan sekumpulan konsep yang dianggap mampu mewakili realitas aslinya, yakni seseorang secara individual, atau institusi itu sendiri. Pertanyaannya adalah sejauh mana reputasi itu mencerminkan realitas sesungguhnya?

Sebagai contoh saja, bahwa di dunia akademis, banyak sekali ditemukan para mahasiswa, yang sedang mengakhiri proses belajar-mengajar, merasakan kesulitan bertemu dengan para pembimbing tugas akhirnya. 

Bahkan mereka merasa asing dengan Pembimbing Akademik (PA) dan ia merasa tak pernah mendapat bimbingan yang memadai sebagai mahasiswa. Jumlah mahasiswa terlalu banyak, sementara jumlah pembimbing untuk membimbing mahasiswa terlalu sedikit. Bahkan, banyak dari mereka bercerita, bahwa mereka hanya berjumpa dua kali dengan pembimbing tugas akhirnya, sewaktu sedang mengerjakan Skripsi.

Menurut Michael Reder, professor filsafat asal Mnchen, Jerman, mengemukakan pendapatnya, bahwa ada semacam proses-proses sosial yang terjadi di belakang setiap pemahaman kita tentang reputasi dari sesuatu. 

Proses-proses sosial ini kemudian dibentuk, diatur, dan dipilih sesuai dengan prosedur-prosedur tertentu dari kekuasaan yang ada. Proses-proses sosial yang dibentuk oleh dinamika kekuasaan inilah yang menjadi isi dari suatu reputasi, yang seringkali menipu kita ?!!

Selain itu, proses-proses sosial ini jugalah yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, atau apa yang tabu dan apa yang mulia, yang ada di dalam masyarakat. Dengan kata lain, menurut Reder, reputasi adalah suatu penciptaan konsep atas sesuatu yang dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan yang ada di masyarakat. 

Dalam hal ini, Reder, sejalan dengan Michel Foucault, yang menyatakan, bahwa kekuasaan itu berfungsi kreatif, yakni menciptakan pemahaman (yang tak selalu tepat) atas berbagai hal di dunia ini. Kekuasaan menciptakan pengetahuan, namun pengetahuan itu tidak pernah netral dan obyektif, karena hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang terus berubah, dan seringkali membingungkan.    

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline