Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (First)

Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Aku Konsumtif, Maka Aku Ada !.

Diperbarui: 8 Desember 2015   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Oleh. Purwalodra

Berbagai fenomena menjelang lebaran di masyarakat kita adalah fenomena konsumerisme. Dimana, sebagian besar kita yang akan merayakannya disibukkan untuk memilih barang-barang baru, baju baru, makanan dan kue-kue khas lebaran. Sejak hari ini, bahkan mulai minggu-minggu kemaren, mall-mall dan pasar-pasar tradisional begitu padat dipenuhi konsumen yang berbelanja kebutuhan menjelang Idul Fitri. Justru, tidak afdol jika lebaran tanpa barang-barang baru, pakaian baru dan berbagai makanan istimewa itu.

Belum lagi mereka yang sudah merencanakan mudik ke kampung halaman. Mungkin biaya tarnsportasi mudik akan menjadi anggaran utama yang mesti dipersiapkan jauh-jauh hari, bahkan beberapa bulan sebelum bulan Ramadhan tiba. Banyak orang mengumpulkan penghasilannya selama satu tahun hanya untuk merayakan lebarannya di kampung halaman. Saking pentingnya merayakan lebaran ini, tidak jarang di seputar Jabodetabek ini, banyak keluarga yang bercerai gara-gara tidak mampu memenuhi kebutuhan lebaran bagi keluarganya. Oleh karena itu, kecenderungan perilaku konsumtif masyarakat kita menjelang hari raya ini sungguh mengaburkan makna Idul Fitri itu sendiri.

Fenomena di masyarakat kita menjelang lebaran telah banyak dipicu oleh kekuatan dari sistem kapitalisme, dengan daya pikat konsumtivismenya. Sistem ini begitu mencengkram pikiran banyak orang, sehingga sebagian besar kita menjadi kehilangan kesadaran sebagai komunitas beragama yang mengajarkan kesederhanaan. Perilaku sehari-hari  kita hanya semata sibuk untuk mengumpulkan uang, serta membeli lebih banyak barang (consumo ergo sum= aku membeli maka aku ada).

Kekuatan dari sistem kapitalisme yang sudah mengakar di masyarakat kita, justru akan mengubah konsep warga negara (citizenship) yang bebas menjadi konsep konsumen (consumer) yang bebas, yang pikirannya hanya terfokus pada konsumsi tanpa batas semata. Kekuatan ini bersikap menindas  kebebasan sejati kita sebagai bagian dari komunitas beragama. Pada akhirnya, kita kehilangan makna keberagamaan yang mengajarkan kebersahajaan dan kesederhanaan.

Fenomena lainnya yang menjadi ekses dari sistem kapitalisme, melalui daya pikat konsumtivisme ini adalah meningkatnya kriminalitas di masyarakat. Banyak orang rela melakukan perbuatan yang mengorbankan orang lain demi merayakan lebaran. Mulai dari pejabat negara, sampai dengan masyarakat biasa sama-sama berjuang untuk mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya), bahkan perilaku koruptifpun akan dilakukan demi hari raya. Sampai-sampai Ketua KPK menghimbau agar para pejabat pemerintah tidak boleh menerima parcel atau hadiah apapun menjelang lebaran, karena termasuk perilaku yang menimbulkan tindakan korupsi (gratifikasi).

Selanjutnya, nilai-nilai individualistik yang dibangun oleh sistem kapitalistik, melalui daya pikat konsumtivisme ini, justru akan mengabaikan solidaritas sosial di berbagai komunitas. Di satu sisi, orang hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Di sisi lain, tingkat kecemasan menjadi amat tinggi, karena tidak ada jaring pengaman yang menangkap mereka, ketika jatuh atau gagal dalam kehidupan. Pada titik ini, proses globalisasi yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah proses penyebaran nilai-nilai individualisme khas Amerika Serikat di masyarakat kita. Di dalam penyebaran nilai-nilai tersebut, solidaritas sosial yang menjadi fondasi dari banyak komunitas, dan juga merupakan fondasi bagi proses-proses bermasyarakat yang sehat, secara perlahan namun pasti terkikis. Yang juga perlu diperhatikan, terutama dengan melihat situasi dewasa ini, nilai-nilai invidualisme justru membawa kehancuran pada komunitas, ketidakadilan akibat kesenjangan sosial yang begitu tajam antara si kaya dan si miskin, serta krisis ekonomi raksasa yang merugikan begitu banyak pihak yang tak bersalah. Proses globalisasi (baca= Amerikanisasi) bisa dibayangkan sebagai proses penyebaran “racun”di masyarakat kita.

Apalagi sistem kapitalisme pasar bebas (free market capitalism) dengan tirani modalnya dan sistem totalitarisme religius (religious totalitarianism) dengan tirani keimanannya yang jelas berseberangan amat tajam dengan kedua aliran berpikir tersebut. Totalitarisme religius menginginkan terciptanya manusia-manusia yang tunduk dan patuh pada doktrin-doktrin religius yang seringkali bersifat eksklusif dan tradisional. Sementara kapitalisme pasar bebas mengingkan terciptanya manusia-manusia yang menjadikan uang dan daya beli sebagai satu-satunya ukuran kemanusiaan seseorang. Keduanya menjajah kebebasan, dan keduanya menciptakan penderitaan dalam hidup manusia.

Namun, dalam berbagai diskusi dan pengamatan sehari-hari, ternyata sistem kapitalisme pasar bebas dan sistem totalitarianisme religius, bisa kawin dan hidup berdampingan di masayarakat kita. Contoh kongkritnya, yakni masyarakat kita lebih dianggap terhormat jika berbuka puasa di rumah makan ala Amerika, dari pada ala warteg ?!. Dan, fenomena menjelang lebaran ini, masyarakat kita beramai-ramai membeli mobil baru, motor baru bahkan barang-barang mewah baru, untuk bekal mudik ke kampung halaman. Ternyata kita tidak bisa lagi menafikan budaya yang sudah berakar di masyarakat kita, bahwa ‘aku konsumtif, maka aku ada’ menjadi slogan hidup kita sekarang ini. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 04 Juli 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline