Oleh. Purwalodra
Ramadhan 1436 Hijriah baru memasuki satu langkah, alias baru hari pertama kita menjalani puasa. Kemaren, sebelum Ramadhan tiba, seribu satu harapan, tumpah-ruah di pelataran jiwa kita, bersatu dengan kegelisahan dan kecemasan kita, apakah kita bisa bertemu dengan Ramadhan tahun ini dan menunaikan kewajibannya genap satu bulan penuh ?. Namun, tiba-tiba kedamaian, ketulusan dan semangat yang menjiwai pelaksanaan puasa hari ini, menjadi sangat berisik bersama iklan makanan-minuman di bulan suci. Kita seakan dibawa pada situasi puasa yang tidak apa adanya. Karena, persiapan untuk hari ini sudah kita timbun sejak seminggu sebelum puasa ini kita jalani sekarang.
Hari ini, Ramadhan tiba menyapa kita, lalu apa harapan kita selanjutnya ?!. Tentu, kita ingin mengisi Ramadhan ini dengan berbagai kebaikan, ritual pribadi, dan ritual sosial. Harapan berikutnya, kita ingin Ramadhan tidak segera pergi. Namun hidup ini terlalu singkat, kita tetap saja menjalani hari-hari dengan enam puluh menit per jamnya, 24 jam sehari-semalam, tujuh hari seminggu, dan tak terasa kita kelak akan melepas Ramadhan yang sejak lama kita tunggu-tunggu ini. Inilah kesan tentang waktu, waktu begitu cepat bergulir, dan waktu juga begitu cepat berlalu.
Di dalam Filsafat Timur, waktu dilihat sebagai persepsi manusia. Ia tidak bisa dipisahkan dari kedirian manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini sudah mengakar begitu dalam di dalam tradisi Cina dan India. Mereka melihat, bahwa waktu tak bisa dilepaskan dari pikiran manusia. Maka dari itu, bisa juga dirumuskan, bahwa waktu adalah aku. Jika Einstein melihat kaitan tak terpisahkan antara ruang-waktu, maka Filsafat Timur melihat kaitan yang tak terpisahkan antara aku-waktu.
Peradaban Eropa melihat waktu sebagai sesuatu yang linear, yakni sesuatu yang bergerak lurus. Ia terdiri dari masa lalu, masa kini dan masa depan. Ketiganya dilihat sebagai tiga hal yang berbeda, walaupun saling berhubungan. Jika masa lalu sudah lewat, maka ia sudahlah berlalu, dan tak akan bisa kembali lagi. Pandangan ini menjadi akar dari slogan yang populer tentang waktu, bahwa waktu adalah uang. Artinya, waktu adalah sumber daya yang bisa habis dipakai. Jika kita menggunakan waktu kita secara tidak produktif, maka kita seperti membuang uang saja.
Namun, ada pandangan yang lain tentang waktu, yakni waktu sebagai lingkaran. Ia tidak lurus, dan tidak terpisah antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Di dalam pandangan waktu sebagai lingkaran, segala sesuatu akan berulang, dan membentuk pola yang tetap. Waktu bukanlah sumber daya yang terbatas. Sebaliknya, ia tak terbatas, dan akan menciptakan dirinya sendiri berulang-ulang tanpa henti.
Martin Heidegger, filsuf Jerman di awal abad 20, menimba pemikiran dari kedua tradisi tersebut. Baginya, waktu adalah horison hidup manusia. Dalam arti ini, manusia adalah mahluk yang mampu mempertanyakan dasar dari seluruh kenyataan yang ada. Ia berada di dalam kenyataan, dan selalu hidup di dalam tiga kategori waktu yang terjadi secara bersamaan, yakni masa lalu, masa kini dan masa depan. Jadi, ketika kita berpikir, kita secara otomatis berpikir dalam tiga waktu yang berbeda, yakni masa lalu, masa kini dan masa depan. Ketiga kategori itu selalu hidup di dalam diri kita.
Pemikiran para filosof diatas tentang waktu, telah membuka cakrawala berfikir kita untuk bisa menganalis lebih jauh tentang harapan manusia terhadap hidup yang dijalaninya sepanjang waktu. Harapan manusia, tentu harus didasarkan pada keyakinannya pada pada diri sendiri dan keyakinannya terhadap waktu. Harapan berasal dan kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu terjadi; sehingga harapan berarti sesuatu yang diinginkan dapat terjadi dalam hidup manusia, karena hanya manusia yang bisa memiliki harapan. Dengan demikian, harapan manusia berkaitan dengan waktu yang ada masa depan.
Namun, lagi-lagi hidup manusia di dunia ini dipenuhi dengan berbagai paradoks. Pernyataan tentang harapan hidup manusia, yakni : jika kita berani berharap, maka kita juga mesti bersiap-siap kecewa. Karena tidak sepenuhnya harapan manusia bisa terwujud, meski usaha yang dilakukan telah menelan banyak pengorbanan. Pernyataan lainnya adalah, kita manusia hanya wajib berusaha tapi hasilnya hanya Tuhan yang menentukannya. Jadi, manusia hanya bisa menyempurnakan upaya saja, dalam mewujudkan harapannya. Namun, hasil dari usaha manusia bukan berada dalam genggaman tangan manusia.
Akhirnya, harapan kita yang selalu dinanti-nanti selama ini, akan lebih baik dengan cara menyempurnakan iktiar kita dalam mewujudkannya. Jalani Ramadhan dengan penuh semangat syukur dan keikhlasan. Jadi, ‘penantian tanpa harapan’ adalah adalah pernyataan filosofis sekaligus spiritual, yang maknanya agar kita jangan terjebak kepada harapan-harapan kosong yang belum tentu baik untuk hidup dan kehidupan kita. Pesannya, jalani hidup ini apa adanya dengan keberserahan yang tinggi kepada Allah Swt. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 18 Juni 2015.