Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (First)

Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Membebaskan Hati

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14256959652128917656

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_354379" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Sudah seminggu ini darah-rendahku kumat, alias tekanan darah menurun sampai 90/60. Semangat untuk beraktivitas menjadi menurun drastis .. tis .. tis .. tiiiis. Bawaaannya cuma perasaan kecewa dan pengen marah aja. Ditambah lagi dengan kondisi pikiran yang masih labil, dengan berbagai tuntutan yang belum bisa terpenuhi dengan segera. Sementara tugas-tugas konseptual yang harus selesai cepat sedang menungguku dibalik tumpukan berkas di beberapa sudut ruangan. Sekarang aku berada dalam tegangan antara kegelisahan dan kecemasan.

Kondisi tersebut mengawali tulisan ini untuk sekedar melepas belenggu yang diam-diam mengikat diriku sendiri saat ini, lantaran beberapa tujuan jangka pendek yang kumiliki, tiba-tiba berubah menjadi ambisi. Sementara, meskipun belum bisa dikatakan sebagai suatu kegagalan, beberapa usaha yang sudah kujalani nyata-nyata menemui jalan buntung ... eh, buntu.

Kita ketahui bersama, bahwa manusia selalu memiliki tujuan hidup. Tujuan ini yang memaksa kita tidur malam-malam, bangun pagi-pagi, bekerja dan beraktivitas lainnya. Tentu, ketika kita tidak memiliki tujuan plus tidak memiliki semangat hidup, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada diri kita. Hidup kita menjadi hampa, tanpa tujuan. Syukurlah bahwa yang menjadikan kita memiliki semangat hidup sampai hari ini adalah tujuan kita. Kita bisa bergerak, bekerja dan beraktivitas tidak lain dan tidak bukan, karena di hati dan benak kita masih tertanam tujuan.

Tujuan yang menguat lalu mengkristal menjadi semangat hidup biasanya berubah menjadi ambisi. Dengan ambisi yang kita miliki maka kita memiliki semangat untuk mencapai ambisi kita itu dengan semua daya dan kemampuan yang ada. Boleh jadi ambisi yang akan kita capai ini dilumuri oleh berbagai cara yang kurang etis atau melanggar nilai-nilai yang berlaku umum. Tapi, ambisi memang tidak mengenal nilai-nilai. Bagi ambisi yang penting tercapai. Titik.

Dalam memperjuangkan ambisi, kita sering terjebak dalam suatu tegangan antara kecemasan dan kegelisahan hidup. Karena, setiap ambisi menuntut pemenuhan meskipun dengan cara-cara tidak halal. Boleh jadi, kecemasan dan kegelisahan hidup inilah yang memicu tindakan-tindakan yang tidak bernilai atau tidak sewajarnya. Kecemasan dan kegelisahan yang menjadi fondasi dari ambisi ini juga yang menjadi awal dari keterpenjaraan jiwa kita. Ditambah lagi dengan ketidakpastian akan usaha yang kita jalani. Dengan demikian, Ketidakpastian ini juga membuat tegangan di dalam diri kita menjadi semakin besar.

Mengingat bahwa dalam setiap keputusan kita, selalu ada dua kemungkinan, yakni : gagal atau berhasil. Maka keberhasilan adalah subuah kemungkinan. Ia bukanlah kemutlakkan, bahkan jika kita telah mengupayakan segala cara untuk mencapainya. Kegagalan juga suatu kemungkinan nyata. Namun, kegagalan akan terus menghantui setiap usaha kita. Ia tak bisa disangkal, walaupun kita mengupayakan segala cara untuk menjauhinya.

Ada satu cerita kecil dari Cina Kuno. Ketika seorang pemanah memanah tanpa kepentingan dan emosi, ia memiliki kemampuan tertingginya. Kemungkinan besar, ia akan berhasil. Ketika ia memanah untuk memenangkan pertandingan, kemampuannya menurun seperempat. Kemungkinan besar, ia akan gagal memanah targetnya, ketika ia memanah untuk mendapatkan hadiah emas dan permata, bahkan ia kehilangan seluruh kemampuannya. Dalam kondisi semacam ini, maka kegagalan adalah sebuah kepastian.

Cerita singkat tersebut merupakan kiasan tentang kebebasan yang kita miliki di dalam hati kita. Pelajaran dari cerita tersebut juga menggambarkan bahwa kita tetap wajib berikhtiar alias berusaha, meski hasilnya tidak bisa kita tentukan kepastiannya. Jika perlu, kita wajib berusaha tanpa emosi dan obsesi untuk keberhasilan di masa depan. Kita wajib berusaha, tanpa terpaku pada hasil yang akan dicapainya di masa depan. Dengan kata lain, kita sudah semestinya berusaha dengan kebebasan hati kita.

"Kegagalan" adalah sebuah "kata". Kegagalan adalah label yang kita tempelkan pada suatu peristiwa. Ia bukanlah kenyataan itu sendiri. Ia adalah tempelan pikiran kita atas pengalaman tertentu. Begitu pula dengan "keberhasilan". Ia juga adalah "kata". Ia juga adalah label. Ia bukanlah kenyataan dan ia akan berubah, sejalan dengan perubahan manusia dan masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline