Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_354541" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]
Membumbui rasa takut merupakan kiasan, yakni bagaimana perasaan takut yang kita miliki menjadi trauma yang menghantui dan menjadi penyakit akut yang sulit disembuhkan. Saat ini, masyarakat kita selalu saja dibuat traumatis oleh keadaan baik secara struktural, sistematis dan kadang-kadang terencana. Mulai dari zaman pemberontakan PKI, sampai sekarang zaman revolusi mental. Rasa takut ini menjadi komoditas kelompok-kelompok terntentu agar masyarakat hidup di negeri ini tidak nyaman, penuh gejolak, yang justru tidak membangun peradaban yang membaikkan masyarakatnya.
Masyarakat kita selama ini, sudah tertanam rasa takut yang luar biasa. Mulai dari rasa takut oleh masa lalunya, maupun rasa takut terhadap masa depannya. Di Indonesia untuk menjadi orang kaya tidak perlu rencana, banyak orang-orang kaya di negeri ini bisa kaya bukan karena cita-citanya menjadi orang kaya. Begitu pula menjadi orang miskin. Banyak orang menjadi miskin di negeri ini hanya gara-gara salah ucap dan salah memutar pantat saja, alias tidak ada rencana mereka menjadi orang miskin. Artinya, menjadi orang kaya atau pengen menjadi orang miskin di negeri ini cukup hanya dengan mengelola rasa takut saja.
Ada sebagian orang yang mampu menciptakan rasa takut kepada orang lain. Dan ada banyak orang yang mampu mengelolanya sebagai sumber penghasilan materiil dari rasa takut yang ada pada orang lain maupun di masyarakat. Hanya orang-orang yang mampu mengelola rasa takut di negeri inilah yang mampu menjadi orang kaya. Kita tak perlu konsep yang muluk-muluk untuk jadi orang kaya, tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Yang penting bagaimana rasa takut ini mampu disimpan di ujung puser kita saja, dan mampu menciptakan rasa takut ini pada orang lain. Karena menurut Neale Donald Walsch, bahwa kita menarik apa yang kita takutkan.
Kemudian, pada awal Maret 2015 ini, Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, berpidato di depan Konggres Amerika Serikat di Washington. Ia berbicara soal bahaya dari negara Iran yang kemungkinan akan memiliki senjata nuklir dalam waktu dekat. Netanyahu ingin menebar rasa takut di kalangan Konggres Amerika Serikat, supaya AS turun tangan langsung untuk berperang melawan Iran. Ia ingin menyuntikkan rasa takut ke dalam politik luar negeri AS.
Sebagai sebuah negara, AS memang didirikan dari rasa takut terhadap tirani Kerajaan Inggris. Hampir sepanjang sejarahnya, AS hidup sebagai sebuah negara yang dipenuhi kegelisahan dan rasa takut atas musuh dari luar. Benar apa yang dikemukakan oleh Reza A.A Wattimena, Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman, "Dibalik segala kekerasan dan kejahatan, ada rasa takut bersembunyi..."
Pada masa Orde Baru, politik Indonesia didorong oleh rasa takut terhadap komunisme. Jejak-jejaknya masih terasa sampai saat ini. Kita pun seringkali diselimuti rasa takut. Kita takut akan ketidakpastian masa depan dan keluarga kita.
Apakah kita akan sukses di kemudian hari? Apakah kita akan hidup sehat sampai usia tua? Pertanyaan-pertanyaan ini menciptakan harapan sekaligus rasa takut di dalam hidup kita. Di sisi lain, banyak orang juga takut akan masa lalunya. Mereka menyesal telah berbuat kesalahan di masa lalu. Di masa kini, mereka menanggung akibat dari kesalahan masa lalu mereka. Hari-hari mereka dipenuhi dengan campuran antara rasa takut, cemas dan menyesal. Pertanyaan kemudian adalah, apakah kita perlu menciptakan rasa takut kepada orang lain agar kita mampu memanfaatkan kekuasaan kita, yang kini kita genggam ?. Terserah aja, emang gue pikirin !!!. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 08 Maret 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H