Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_353757" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]
Setiap saat, aku mencoba merenungi, dan terus mencari akar dari perasaan kecewa di setiap keadaan dan disetiap tempat di mana aku beraktivitas. Para filosof meyakini bahwa kekecewaan kita akan selalu ada karena manusia masih memiliki harapan dan keinginan. Selama harapan dan keinginan ini berada dalam fikiran dan hati manuisa, maka disitulah kekecewaan akan bersemi. Kekecewaan adalah akibat dari apa yang harapkan dan apa yang diinginkan manusia, tidak termanifestasi.
Seandainya saja aku bisa membunuh harapan dan keinginanku, mungkin lenyap pula kekecewaan dalam hidup ini. Namun, sayangnya harapan dan keinginan itu melekat erat dalam kehidupan kita, seakan hidup ini tak bisa dipisahkan dengan harapan dan keinginan itu sendiri. Apalagi jika manusia dihubungkan dengan kehendak hati, niat dan cita-citanya. Maka harapan dan keinginan itu bisa menggelembung, seiring dengan gelembung era informasi yang makin pesat saat ini. Teknologi informasi, semacam internet pun juga ikut campur dalam penggelembungan harapan dan keinginan manusia.
Boleh jadi, setiap hari, pikiran kita diserang oleh jutaan informasi, mulai dari iklan, berita di koran, sampai dengan gossip terbaru artis ternama. Akibatnya, yang kita peroleh adalah gelembung informasi, yakni informasi berlebihan tentang satu area, dan informasi berlebihan dengan menggunakan satu sudut pandang tertentu. Kita mengalami gelembung informasi di satu sisi, sekaligus krisis informasi di sisi lain, karena kita menjadi buta dengan apa yang terjadi di suatu tempat, dan rabun, karena tak mampu melihat dari sudut pandang yang lain.
Gelembung informasi berujung pada penggelembungan harapan dan keinginan kita. Gelembung informasi inilah yang melambungkan harapan dan keinginan manusia melebihi potensi dan kemampuannya. Karena gelembung bukanlah realitas, bahkan seringkali menipu, maka orang pun akan terjebak lebih jauh ke dalam jurang kekecewaan. Harapan dan keinginan yang menggelembung pada akhirnya akan bermuara pada kekecewaan yang besar, karena harapan tersebut jauh dari kenyataan yang ada.
Di sisi lain, jika kita memperhatikan berita-berita di media massa, akan terasa sekali, adanya gelembung negativitas, yakni pemberitaan yang berlebihan tentang apa yang negatif. Gelembung negativitas ini, jika tidak disikapi dengan sikap kritis, akan membuat kita melihat dunia juga dengan sikap sinis dan negatif.
Cara berpikir negatif adalah awal dari tindakan negatif. Artinya, gelembung negativitas pemberitaan juga menghasilkan gelembung negativitas cara pandang manusia, yang amat mungkin akan mendorong tindakan-tindakan negatif, atau ketidakpedulian. Gelembung negativitas juga akan menghasilkan gelembung kekecewaan, yang pada akhirnya membuat orang tak lagi tergerak untuk memperbaiki keadaan.
Pandangan sementara tentang perasaan kecewa adalah berusaha mengunggulinya, artinya aku harus merada di atas kekecewaan itu. Dan keberadaanku lebih besar dari rasa kecewa yang kugenggam saat ini, sekaligus menepis kekecewaan itu dengan menetapkan upaya agar harapan dan keinginan kita bisa didekati, meskipun tidak seluruhnya bisa kita peroleh. Dunia tanpa kekecewaan adalah hal mustahil, namun upaya untuk melampaui kekecewan adalah keniscayaan yang bisa kita peroleh. Oleh karena itu, dengan selalu bersyukur pada apa yang belum dan sudah kita miliki adalah upaya untuk mendekatinya. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 03 Maret 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H