Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (First)

Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Warnai Hidup Kita dengan Kebohongan

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14153448941334483652

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_333750" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Beberapa hari ini, rasanya kok banyak orang yang bohong sama saya yaa, meski saya sangat tahu maksud dia berbohong. Namun, untuk menghargai sering kata-kata bohong itu saya bumbui dengan berbagai kebohongan pula, yang pada akhirnya komunikasi yang terbangun adalah kemunikasi kebohongan. He .. he .. he ..

Meski demikian, kata-kata bohong kadang dibutuhkan juga untuk memanaskan situasi komunikasi yang terputus. Dan ketika komunikasi terlanjur panas, maka komunikasi itu akan berakhir pada luka hati yang tidak mudah terobati. Komunikasi yang berdasarkan pada kebohongan akan bermuara kepada saling ejek dan saling meremehkan. Dulu, kalo saya berbohong hanya sekedar menunjukkan kepada orang lain, bahwa sayaaa ... gitu deeeech ?.

Sebenarnya hati kita yang terdalam (mungkin ada juga hati yang dangkal), selalu tidak menginginkan adanya kebohongan. Namun apa boleh buat, pikiran kita sering lebih dominan dari hati kita, dan biasanya pikiran kita selalu membawa serta kepentingan kita yang dibungkus dengan kata-kata bohong itu.  Lantas, lawan dari berkata-kata bohong, mungkin diem-dieman ???. Sepasang kekasih yang lagi ngambek, biasanya diem-dieman. Ini lebih baik dari pada ngomong pake bahasa bohong-bohongan.

Sebenarnya lagi, hampir semua orang bisa merasakan apakah satu kalimat yang diucapkan seseorang itu bernilai bohong atau tidak. Karena kata-kata yang terucap dari bibir seorang yang sedang berbohong bisa diketahui dari bahasanya, baik verbal maupun non verbal, atau ketidak-singkronan antara bahasa yang terucap dengan bahasa tubuhnya. Atau kalau kepekaan seseorang tinggi, kebohongan bisa dideteksi dari kepadatan energinya. Sakti kaleee yee ... ?

Pada tahun 2010 lalu,  sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika oleh NIMH (National Institute of Mental Health), sebuah badan yang meneliti tentang kesehatan dan jiwa manusia merilis hasil penelitian mengenai apa penyebab yang sering menjadi alasan orang untuk berbohong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam seminggu, orang berbohong terhadap 30% orang lain dalam komunitasnya. Untuk kategori mahasiswa malah menunjukkan angka 38%  jumlah orang yang mereka bohongi. Jadi kira-kira, dari 100 orang yang diajak berinteraksi dalam seminggu, maka ada 38 orang yang telah dibohongi.

Hasil ini tidak menjamin bahwa seorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan memiliki nilai persentase kebohongan yang relatif kecil. Apabila kebohongan memang suatu hal yang wajar dilakukan, tentunya ada alasan yang melatarbelakangi mengapa bohong menjadi penting dilakukan. Hasil penelitian juga berhasil menyimpulkan alasan orang berbohong :


  1. Faktor kepribadian, yakni adanya pribadi-pribadi tertentu yang cenderung untuk selalu berbohong,
  2. Faktor konteks sosial, yakni adanya konteks sosial tertentu yang membuat orang melakukan kebohongan.
  3. Faktor kemanfaatan bagi pembohong, yakni adanya kemanfaatan yang dicapai bagi pelaku kebohongan.Terutama jika kebohongan itu memberikan keuntungan bagi si pelaku.
  4. Faktor kemanfaatan bagi orang lain yakni adanya kemanfaatan bagi orang lain. Terutama bagi orang yang dianggap penting bagi dirinya.

Benarkah kepribadian seseorang sangat berperan penting dalam melakukan kebohongan? Lalu benarkah ada kepribadian atau karakter yang menganggap bohong wajar dilakukan dan menjadi rutinitas sehari-hari? Biasanya, mereka yang melakukan kebohongan jauh lebih banyak daripada umumnya orang disebut Pseudologia Fantastica. Adapun kecenderungan patologis untuk secara rela dan sadar berbohong dan membuat cerita khayalan disebut Mythomania. Gejala ini akan tampak jika orang yang berbohong dihadapkan pada fakta yang sebenarnya. Bagi mereka yang mempunyai karakter maniak, akan berusaha mempertahankan kebohongannya sebisa mungkin dengan argumen-argumen pendukung yang sengaja ia cari atau ia ciptakan untuk memperkuat alibinya.

Para penderita Mythomania memiliki kecenderungan sangat kuat untuk membuat cerita bohong pada orang lain namun bukan karena ingin membohongi. Mereka berbohong lebih karena keinginan mendapatkan perhatian lebih besar. Jadi, bila Anda mengalami keinginan sangat kuat untuk lebih diperhatikan oleh orang lain, lalu karenanya mengarang cerita bohong, dan Anda sering melakukannya maka Anda mengalami Mythomania.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline