Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (First)

Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Ambil Tanggungjawab!

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1423542698616788312

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_350354" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Pernah suatu ketika saya mencoba memahami sebuah pernyataan dimana seorang manusia memiliki tiga tingkatan tanggung jawab di semesta ini. Tingkat pertama, bahwa ia bertanggungjawab kepada keberadaan dirinya sendiri terhadap orang lain; Tingkat kedua, bahwa ia bertanggungjawab kepada orang lain terhadap dirinya; dan tingkatan ketiga, bahwa ia bertanggungjawab kepada kepentingan orang lain terhadap orang lain yang dekat dengan keberadaan dirinya.

Ketiga pemahaman diatas tentu harus dimaknai dengan kedalaman hati yang jernih, bukan dengan pemahaman fikiran yang sangat dangkal. Makanya saya sering melihat orang-orang bijak tidak mudah menyalahkan orang lain, lingkungan maupun konflik sesama mereka. Orang-orang ato pimpinan yang 'arif' selalu melakukan instrospeksi (melihat ke dalam) sebelum menetapkan keputusan dengan segala resiko yang diperhitungan. Karena orang-orang yang memahami hukum kausalitas dan hukum tarik-menarik, akan sangat berhati-hati menentukan pilihan keputusannya.

Keputusan seorang pemimpin akan menentukan hitam-putihnya nasib orang banyak dan keadaan lingkungan di tempat ia memimpin. Ketika seorang pemimpin salah memutuskan suatu perkara, maka bukan hanya nasib orang lain yang berantakan namun keadaan lingkungan menjadi berantakan. Akibatnya, situasi dan kondisi kepemimpinanya diragukan orang lain dan sudah pasti keberadaan kepemimpinannya terancam runtuh.

Dalam konteks seperti diatas, maka gerak dan upaya untuk bangkit menyadari ketidakpahaman tentang kausalitas keputusan semesta ini adalah perkara paling penting dalam eksistensi kehidupan manusia. Karena sikap diam adalah nama lain dari kehancuran dan kematian. Sementara hubungan antara gerak dan tanggung jawab adalah dimensi kemanusiaan pertama dari sebuah gerak. Itulah sebabnya, sebuah gerak atau upaya untuk bangkit tidak dapat disebut sempurna jika tidak dibentuk oleh pemahaman tentang tingkatan tanggung jawab ini.

Kebanyakan orang berusaha untuk mencapai maksud atau tujuan tertentu. Namun, adalah sangat sia-sia apabila seseorang menunggu hasil dari sebuah usaha yang tidak dibentuk oleh tanggung jawab. Padahal saat ini, para oportunis matanya selalu jalang karena rakus mencari-cari kesempatan, para politisi riuh melontarkan janji-janji manis yang beracun, media massa ramai menyiarkan berbagai berita dan jargon-jargon, beberapa elit mendadak berubah menjadi malaikat yang rajin membantu masyarakat di tempat bencana, beberapa orang yang disebut "mubalig kondang" sibuk menjual khutbah demi mengejar uang, pasar saham jatuh bangun dalam bayang-bayang spekulasi saban siang dan malam, segelintir aparat pemerintah mencurahkan perhatian mereka hanya untuk membela ideologi tertentu, dan kaum bijak bestari terus membiarkan berbagai macam kebusukan tersebar di mana-mana.

Inilah sebuah potret masyarakat kita dimana manusia memiliki kewenangan dalam menentukan hitam-putihnya sebuah keadaan, namun tidak paham akan tanggungjawab yang mereka emban terkait dengan upayanya mencapai sebuah tujuan pribadi, organisasi dan masyarakat.

Pada akhirnya, ketika kita ketahui bahwa kondisi diam dan statis adalah sama saja dengan kematian dan kebinasaan, sebagaimana sikap tidak mau bertanggung jawab dalam dalam setiap gerak hubungan antar sesama, adalah sama saja dengan kekacauan. Oleh karena itu, kita tidak memiliki pilihan lagi selain membangkitkan kesadaran bertanggungjawab di setiap tindakan kita dengan penuh perasaan. Mulai hari ini seyogianya semua usaha yang kita lakukan harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Wallahu A'lamu Bishshawab.

Bekasi, 10 Februari 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline