Lihat ke Halaman Asli

Maafkan Aku Ibu

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar: google.com

Antrian pekerjaan hari ini telah berdesakan sejak subuh tadi. Aku sengaja meleha sedikit, karena memang belum terlalu fit. Dua pekan ke depan sebenarnya pekerjaan kantor relatif tak banyak. Namun kuputuskan lusa ke luar kota. menjemput rindu dan berkumpul sejenak dengan cinta. melanjutkan sulaman cita dan energi. "Haloo, kamu lagi dimana?" Suara berat di ujung telepon cukup mengejutkan pagi di ruang kerjaku. "Eh, om, udah di kantor. Gimana om?" Jawabku sambil berusaha sok hafal. "Oh, ngga, lagi di rumah nih, sama ibu dan bapak kamu. Hujan deras di kampung." Sebenarnya aku masih belum yakin ini siapa. Tapi setelah mendengar jawaban tersebut aku langsung ingat dengan Om Patiah. Yap. Kebetulan aku memang tidak belum menyimpan nomornya. "Apa kabar om? Sehat?" Ujarku berbasa-basi. "Alhamdulillah sehat. Jadi kapan pulang? Sudahlah, kau bawalah Katana atau Kijang Crysta. Kan tidak mahal itu? Kasihan Om lihat Ibumu mau berangkat kerja ke kecamatan saja harus nunggu hujan reda. Adik-adikmu juga sudah besar. Tidak cukup lagi kalau bepergian dengan motor pembagian ibumu itu. Atau ada uang 10-15 juta? Biar Om yang carikan di kampung." Om Patiah, beliau bukan saudara kandung ayah atau ibuku. Dalam adat kampungku  posisinya adalah paman karena satu suku. Sedarah tidak, tapi ada kedekatan adat di sana. Aku hanya menjawab he..ha..he... gelagapan tak jelas. Samapai akhirnya Om Patiah menutup pembicaraan singkat pagi ini. "Ok, sudah ya. Om tunggu kabarnya. Assalaamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam.." Aku terdiam. Mataku menerawang melepas pandangan melewati jendela besar di ruang kerjaku. Biasanya aku sangat menikmati pagi dengan langit biru dan sedikit awan putih menghiasi latar pencakar langit dan menara masjid di Barat kantorku. Tapi tidak untuk kali ini. Tatapanku ke depan, namun memoriku berlarian memutar setiap permintaan yang pernah aku terima, bahkan dari seorang ibu yang seharusnya tidak sungkan untuk meminta apa pun padaku anaknya. Ya, seingatku ibu hanya meminta agar aku segera lanjut S2, menjaga kesehatan, dan tidak usah pikirkan keluarga di rumah. Tidak perlu mengirimkan uang bulanan untuk adik-adik. Bahkan kalaupun ibu lagi butuh sekali, beliau akan meminta lewat sms, itu pun dengan kata-kata maaf. Maafkan ibu ya nak, kami di rumah sedang tidak punya pegangan. Boleh ibu pinjam dulu buat bayar uang kos adikmu yang lagi kuliah? Ah, kalau sudah menerima sms seperti itu, aku tak pernah membalas. Langsung cabut ke ATM, aku kirim seberapa yang aku bisa. Dan aku merasa sangat bersalah karena masih belum peka. Bukan apa-apa, karena meskipun sudah tiga tahun bekerja, aku masih belum bisa mapan seperti ukuran orang kebanyakan; nyicil rumah, mobil, dan liburan kesana kemari. Ada hal prioritas yang mesti aku utamakan. Telepon Om Patiah pagi ini bagiku menyakitkan. Aku seperti disayat-sayat. Ngapain saja kuliah jauh-jauh, bekerja di ibu kota, sampai sekarang untuk belikan mobil ibumu saja kamu belum sanggup?! Begitu kesimpulan  yang aku rasakan dari ucapannya tadi. Awalnya, aku akan memberi judul tulisan ini dengan "Biarkan Aku Memilih Cara Hidupku", namun setelah aku berpikir dan mengingat ibu di rumah aku urungkan menulis judul itu. Telepon pagi ini adalah pengingat sekaligus kritik pada diriku sendiri. Merantau itu untuk memberikan manfaat.Terutama kepada orang tua dulu, keluarga, sampai negara bahkan dunia. Jangan terlalu lama terombang-ambing memikirkan diri sendiri sehingga membelikan ibu mobil butut untuk melindunginya pergi bekerja ke kecamatan saja masih tak sanggup. Ah... Ibu, maafkan anakmu. Doakan aku agar bisa berlari lebih cepat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline