Lihat ke Halaman Asli

Ketika Kita Menuhankan Nalar Manusiawi

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia adalah makhluk inklusif, terkadang memiliki pola fikir yang cenderung statis. Statis disini bukanlah dalam hal menentukan keputusan dari setiap permasalahan yang dialami. Karena manusia diciptakan dengan milyaran sel otak yang dapat dipakai secara maksimal untuk kreatif dalam berfikir.

Statis yang dimaksud, dalam cakupan hal - hal yang berkaitan dengan cara pandang manusia dalam menanggapi hasil akhir dari tiap kreatifitas yang diciptakan untuk menyelesaikan tiap problem yang dialaminya.

Terkadang, kita sebagai manusia selalu berfikir sempit dalam menanggapi hasil akhir dari pencapaian yang kita upayakan sendiri. Banyak dari kita yang lebih "menuhankan" NALAR MANUSIAWI dalam menanggapi hasil akhir yang dicapai dalam proses kehidupan kita. Nalar yang tentunya sangat terbatas dalam melihat dengan jernih setiap poin - poin yang dihasilkan setelah proses - prosesnya kita lalui.

Hal ini yang dapat menimbulkan sikap skeptis (keraguan) dalam pola fikir kita. Sikap yang seharusnya tidak kita pelihara dan dikembang biakkan dalam pola fikir kita. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, sikap skeptis itu sering kita tujukan pada sang pencipta.

Sikap skeptis yang berlebihan dapat cenderung menggiring kita pada tindakan kufur nikmat. Dan ketika hal tersebut tidak dicegah, maka dampak nya akan membuat diri kita selalu merasa tidak puas dengan hasil - hasil yang telah kita capai.

Nalar manusiawi selalu mengarahkan kita pada hal - hal yang cenderung bersifat duniawi. Ketika kita tidak dapat mengelolanya dengan baik, maka nalar tersebut dapat menggiring kita ke arah syirik. Perbuatan yang tentunya tidak di sukai oleh sang ilahi. Dan syirik itu sering diawali dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberi oleh ilahi. Bukankah kita tahu bahwa diri kita tidak lebih dari makhluk yang tidak berdaya jika tanpa petunjuk dariNya.

Banyak dari kita yang hanya mengedepankan pola berfikir rasional. Kalimat - kalimat "apa mungkin", "Sepertinya tidak bisa", "aku tidak percaya" dan kalimat - kalimat sejenisnya sering sekali seliweran dibenak kita. Tidak percayakah kita dengan kuasaNya.? Haruskah kita selalu berlogika dengan tuhan. Menganggap bahwa semua yang kita alami adalah mutlak karena usaha kita tanpa ada campur tanganNya.

Tanamkan pada diri kita bahwa nalar kita tidak pernah sanggup menafsirkan kekuasaanNya. Secerdas apapun kita, setinggi apapun jenjang pendidikan kita. Itulah mengapa orang - orang yang selalu mengedepankan nalar manusiawi cenderung lari kearah penyimpangan, baik yang disadari maupun tidak disadari. Manusia itu bergerak atas dasar "keinginan" penciptanya. Dengan usaha yang diperbuatnya sambil menunggu hasil terbaik dariNya atas apa yang kita usahakan. Tidak ada yang punya kontrol penuh atas dirinya dan tidak ada yang pernah bisa mendikte tuhannya, berbuat sesuka hati, berfikir melewati batas sesuka hati dan menelurkan pemikiran sesuka hati.

"KETIKA KITA MENUHANKAN NALAR MANUSIAWI, MAKA BERSIAP - SIAPLAH UNTUK KECEWA BERKEPANJANGAN  DAN MERASA JAUH DARI SANG PENCIPTA. MERASA SELALU KEKURANGAN DAN TIDAK PERNAH BISA MENIKMATI KEHIDUPAN DENGAN SEMESTINYA"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline