Lihat ke Halaman Asli

Anshar Saud

dad, husband, mureed, Khudi

Tanggung Jawab Apoteker

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13992254701692360177

“APOTEKER bukan penjual Obat ” Demikian judul berita yang diturunkan Harian Republika (Rabu, 5 Maret 2014) meneruskan sambutan Edy Suandi Hamid, Rektor Universitas Islam Indonesia saat pelantikan dan pengambilan sumpah Apoteker di kampus tersebut. Memang sesuai dengan gelarnya, kalangan awam sering mengidentikkan apoteker dengan apotek, salah satu tempat pengabdian profesi seorang farmasis. Apakah benar pekerjaan utama seorang apoteker semata-mata adalah meracik dan menyiapkan obat di apotek?. Gambaran tersebut mungkin benar jika kita menggambarkan apoteker seratus tahun yang lalu.

Farmasis masa kini telah berbenah untuk melaksanakan apa yang disebut Total Pharmacy Care – Pelayanan Farmasi Total. Apalagi di era pelayanan kesehatan semesta (universal health coverage) ini. Farmasis seharusnya menjadi pemain inti dalam sebuah tim pelayanan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

[caption id="attachment_306048" align="aligncenter" width="198" caption="Pharmaceutical Care (sumber: www.fip.org)"][/caption]

Jalur karir

Walau belum tersedia data nasional yang merinci sebaran farmasis di berbagai bidang pekerjaan di Indonesia, namun secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jalur karir. Kategori jalur pengabdian tersebut antara lain di apotik, rumah sakit, instansi pemerintahan, perguruan tinggi dan industri farmasi. Jon C Schommer (2007) dalam penelitiannya berjudul Career Pathways for Pharmacist melaporkan bahwa terdapat 25 bidang pekerjaan ditambah satu kategori ‘lainnya’ dimana farmasis di Amerika bekerja secara profesional. Schommer membaginya menjadi 5 kategori lengkap dengan persentasenya. Kategori tersebut adalah praktek farmasi, akademia, industri farmasi, variatif (miscellaneous settings) dan kategori ‘lainnya’.

Beberapa yang perlu dicatat adalah ternyata jumlah farmasis terbanyak bekerja di lapangan farmasi komunitas (10,6%) disusul farmasi rumah sakit (10,4%). Kemudian pengajar yang mengajarkan praktek klinis di universitas (9,9%) jauh lebih besar dari pengajar ilmu-ilmu farmasi ekonomi, sosial dan administratif (4,8%) dandosen ilmu-ilmu farmasi (1,9%). Sementara tempat keempat diisi spesialis klinik yang melayani pasien (9,2%). Farmasis yang bekerja sebagai pegawai di institusi pemerintahan termasuk militer sebanyak 7,6%. Beberapa berkarir di industri farmasi khususnya di bagian riset dan pengembangan (2,1%) serta bagian penjualan dan pemasaran 1,1%. Sementara yang termasuk di bidang yang variatifantara lain aktif sebagai manajemen asosiasi 3,0%, organisasi riset dan manajemen korporat (1,2%) hampir sama dengan bidang “lainnya” sebesar 2,5%. Fakta yang menarik adalah terdapat beberapa bidang yang mungkin kurang familiar di Indonesia seperti farmasi nuklir, farmasi geriatri, farmasi home care dan juga hukum farmasi atau kebijakan publik.

Pendidikan tinggi

Farmasis berdiri di area persinggungan antara riset dan pengembangan obat, industri farmasi, penulis resep, pasien dan obat itu sendiri. Demikian sehingga tanggung jawab profesinya bukan hanya soal obat dan pasiennya saja, akan tetapi juga kepada masyarakat. Inilah yang dimaksud oleh Ian Bates (2012) dalam Global Competency Framework sebagai domain pelayanan kefarmasian. Bahwa tugas farmasis itu berada pada empat domain. Pertama, domain profesi/pribadi yang berfokus pada praktek dengan kemampuan komunikasi, pendidikan profesi berkelanjutan, praktek regulasi dan hukum, serta manajemen diri sebagai perilaku pendukung. Kedua, domain manajemen organisasi yang berfokus pada sistem dengan perilaku pendukung manajemen sumber daya, rantai suplai dan tempat kerja. Ketiga, domain pelayanan kefarmasian yangberfokus kepada pasien dengan konsultasi dan diagnosis pasien, pembuatan obat, pemberian dan pengawasan obat sebagai perilaku penunjangnya. Terakhir adalah domain farmasi kesehatan masyarakat dengan fokus pada populasi dengan promosi kesehatan serta advis dan informasi obat sebagai perilaku pendukungnya. Dua domain pertama memerlukan pengetahuan manajemen sedangkan dua domain terakhir memerlukan pengetahuan keilmuan.

Namun terjadi kesenjangan jauh antara kemajuan farmasi di negara maju dengan negara berkembang. Claire Anderson (2012) dalam Need-Based Education in the Context of Globalization menyebutkan bahwa sementara pemimpin opini di negara-negara maju membicarakan area farmasi yang terspesialisasi, negara-negara berkembang baru mulai mencari kurikulum yang berpusat pada pasien dan farmasi kesehatan masyarakat untuk memenuhi lingkungan kesehatan yang berubah. Dan lanjutnya lagi, banyak sistem kesehatan di negara berkembang tidak mengenal farmasis sebagian bagian terintegrasi dari tim pelayanan kesehatan, dimana pelayanan kefarmasian berorientasi pasien di negara tersebut baru mencari bentuk, dan status yang dirasakan oleh para farmasis masih berada di bawah posisi kawan-kawan medis mereka.

Kemajuan profesi farmasi termasuk ilmu dan teknologi kefarmasian suatu bangsa sangat tergantung pada kualitas program pendidikan tinggi farmasinya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang mendorong kebijakan universal health coverage di setiap negara memberi tantangan positif kepada komunitas farmasi global untuk menyiapkan lulusan farmasis yang kompeten membawa nilai dalam sistem pelayanan kesehatan dan juga massa kritis (critical mass) yang dapat menjadi pemimpin dalam masyarakat dan tim pelayanan kesehatan. Sebagaimana disebutkan oleh Henri R Manasse (2013) Ketua Inisiatif Pendidikan-Federasi Farmasi Internasional, bahwa perkembangan profesi, ilmuwan dan pendidik farmasi sangat tergantung pada program pendidikan farmasi kontemporer yang kuat sebagai pendidikan awal dan juga seumur hidup.

Kita membutuhkan universitas yang memberikan pendidikan yang berkualitas dan akuntabel secara sosial untuk melayani kebutuhan pasien baik sebagai individu maupun masyarakat sebagai sebuah keutuhan. Apoteker bukan penjual obat di era JKN ini, melainkan profesional yang bertanggungjawab dalam hal obat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien juga masyarakat. Dan kunci utamanya berada di pendidikan tinggi farmasi. Sebab terdapat hubungan sebab akibat yang kuat antara kualitas layanan kefarmasian beserta pendidikan tingginya dengan kualitas kesehatan keseluruhan dari suatu bangsa. [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline