Pengantar
Pada zaman dahulukala ada seorang raja yang bertitah untuk mengumpulkan semua orang pandai dalam kerajaannya. Setiap orang diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya tentang: "Siapakah yang paling kuat dalam dunia ini ?" Kemudian berturut-turut muncul pendapat sebagai berikut: Raja adalah orang yang paling kuat, sebab semua orang tunduk kepadanya. Pendapat ke dua: Wanita cantik yang paling kuat, sebab banyak raja (penguasa) yang bertekuk lutut kepadanya. Selanjutnya: Anggur yang paling kuat, sebab anggur (minuman keras) dapat membikin mabuk siapa saja termasuk raja maupun wanita cantik, dan siapa yang mabuk menjadi bodoh dan lemah.Tapi pendapat keempat adalah yang memuaskan hati baginda Raja, yaitu: Kebenaran yang paling kuat dalam dunia ini, sebab dari waktu ke waktu selalu tegak berdiri, tak ada yang dapat mengalahkan. Walau diserang dengan gencar namun sang kebenaran akan tetap jaya, bahkan semakin berkibar!
Panggilan Suci
Dalam bible dikisahkan bahwa 'the king of David" atau raja Daud adalah seorang yang berkenan di hati Allah, tetapi sekalipun demikian Daud tetap manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan. Salah satu kesalahan Daud yang paling fatal adalah pada saat ia merebut Batsyeba yang notabene istri dari Uria, salah seorang prajuritnya yang adalah bawahannya sendiri. Untuk mewujudkan keinginannya, Daud menggunakan cara yang licik dan jahat, yaitu dengan sengaja menempatkan Uria di garis depan medan pertempuran sehingga ia mati terbunuh.
Skandal yang sangat memilukan dan memalukan ini kemudian dibongkar oleh Nabi Natan. Pada saat dosanya dibongkar, sebetulnya sebagai seorang raja, Daud bisa saja menjadi tersinggung dan marah atas kelancangan Nabi Natan. Atau sebagai seorang raja yang berkuasa, Daud dapat saja menggunakan kekuasaan yakni memerintah prajuritnya untuk membungkam dan menghabisi Nabi Natan, sehingga ia tidak akan kehilangan muka, karena dipermalukan oleh sang Rohaniwan. Tetapi ternyata raja Daud tidak melakukannya. Ia juga tidak mencoba berdalih dan mencari kambing hitam atas hal yang telah diperbuatnya. Sebaliknya, dengan hati hancur dan dengan kerenah dan hati Daud mengakui dosa besar yang telah diperbuatnya.
Tugas dan panggilan sebagai seorang rohaniwan adalah secara terus menerus menyampaikan 'Suara Kenabian" bagi seluruh umat manusia yang tidak lain dan tidak bukan adalah umat Allah. Suara kenabian sebagaimana dimaksud adalah berani menelanjangi (exspose), membuka, atau berani membongkar praktek-praktek kejahatan dalam kehidupan social, politik, ekonomi, budaya dan bahkan agama kita sendiri. Bila hal itu tidak dilakukan, berarti sang rohaniwan ikut terlibat dalam perbuatan jahat, meski tidak melakukannya. Kata Marthin Luther King Jr, bahwa ketika kita melihat ketidakadilan yang terjadi di depan mata kita sendiri, tetapi kita tidak melakukan apa-apa, berarti kita juga ikut melakukan ketidakadilan itu. Bagaimana dengan peran sang rohaniwan sekarang ini, apakah mereka tetap berpegang pada komitmen suci dan dengan konsisten hidup dalam kesucian, sehingga dapat menjadi penyambung lidah rakyat, sebab bukankah "vox populi vox Dei" (suara rakyat adalah kehendak Allah ) ?.
Nalar Sehat
Membangun kesadaran kritis sebagai orang yang bernalar sehat, adalah sangat penting dalam kehidupan sebagai suatu komunitas masyarakat. Sehingga semua orang dalam komunitas itu dapat saling mengingatkan (fungsi control sosial), saling menolong dan saling menopang dalam membangun hidup bersama yang lebih sehat, lebih baik dan lebih benar. Kalau kita semua bisa jujur, bahwa pada pemilu tanggal 14 Februari 2024 yang lalu, aroma money politiknya sangat kuat. Khususnya untuk pemilihan anggota legislative, yang paling seru dan berdebu adalah caleg provinsi dan kabupaten/kota. Para caleg dan tim sukses, tidak hanya melakukan serangan fajar (diam-diam), tetapi kini melakukan serangan siang (tidak sembunyi-sembunyi). Selain itu, ada juga caleg yang menyalurkan "diakonia politik" atau memberikan bantuan kepada umat beragama tertentu.
Pertanyaannya, apakah para rohaniwan sebagai pemimpin umat, tidak mengetahui adanya 'diakonia politik' tersebut ? Saya yakin dan jamin, para pemimpin umat pasti mengetahui hal itu. Jika para pemimpin umat mengetahui permaianan kotor (money politik) lalu mereka diam saja, maka mereka ikut serta dalam permaianan politik itu kotor. Fakta menunjukan bahwa sudah sejak lama para rohaniwan juga para akademisi, yang terlibat langsung dalam pengambilan keputusan atau penentu kebijakan dalam kehidupan politik di Indonesia, tetapi dunia politik tidak pernah sepi dari aroma kebusukan berupa money politik, korupsi, dan kejahatan-kejahatan lainnya (mungkin pendapat dan penilaian ini sangat subjetif). Atau dengan kata lain, politik yang dimainkan oleh para politisi di Indonesia (termasuk para rohaniwan) bukan politik transformasional tetapi syarat dengan politik transaksional belaka. Sehingga tidak mengherankan banyak politisi yang berjiwa dan bermoral transaksional itu akhirnya mendapat celaka, sebab menjadi pesakitan, tetapi tidak tinggal dan dirawat di rumah sakit, melainkan dirawat dan terpaksa tinggal di penginapan negara (penjara).
Menurut Masdar Hilmy (2008:10), itulah paradoks keberagamaan di Indonesia dewasa ini, yakni orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan adalah orang-orang yang dikategorikan sebagai 'pendosa politik' tetapi anehnya mereka justru dikenal sangat agamais. Dan akan semakin lebih parah lagi, bila para 'pendosa politik' yang disentil oleh Masdar Hilmy di atas, didalamnya terdapat para penjaga moral kesucian agama, yakni para mimpin umat: para pendeta para imam, dan para ulama.
Padahal para rohaniwan seharusnya tetap menjaga nalar sehat di tengah-tengah bangsa yang lagi mengidap pelbagai penyakit sosial yang sangat parah. Sebagaimana diharapkan bahwa panggilan suci agama-agama di Indonesia adalah sebagai pemberi landasan moral, etik, spiritual bagi warga bangsa, sehingga karakter anak-anak bangsa dapat dibangun dengan baik. Itulah mandat suci yang harus diwartakan oleh para rohaniwan dalam upaya mentrasformasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tercinta Indonesia. Tentunya tugas dan tanggungjawab ini amat sangat berat, tetapi bukannya tidak mungkin. Asalkan sang rohaniwan tidak kehilangan nalar sehat dan moralitas, agar tetap dapat berjuang dan dapat memberi kontribusi positif dalam setiap proses transformasi itu.