Lihat ke Halaman Asli

Ansarullah Lawi

Program Studi Teknik Industri Institut Teknologi Batam (ITEBA)

Dinamika Peranan Partai Islam dalam Sejarah Partai Politik Indonesia

Diperbarui: 18 April 2024   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrasi Menggunaka AI Generatif (Sumber: ideogram.ai)

Indonesia, negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, telah memiliki perjalanan yang unik dan kompleks terkait dengan partai-partai politik berbasis agama, khususnya Islam. Sejarah politik Indonesia mencatat bagaimana partai-partai Islam berusaha menavigasi arus politik yang seringkali turbulent, mulai dari masa Orde Baru hingga era reformasi dan demokrasi yang lebih terbuka.

Pada masa Orde Baru, wajah Islam politik di Indonesia mencoba merambah jalan baru. Bentuknya bermacam-macam, namun semuanya moderat, tidak mempersoalkan keindonesiaan, tetapi lebih kepada bagaimana keindonesiaan tersebut diinterpretasikan. Dari masa ini, praktis partai-partai politik Islam belum mampu menjadi imam dalam konteks percaturan demokrasi di Indonesia. Hampir semua partai berposisi sebagai makmum yang baik, yang sering hanya menunggu di lobi atau, kalau pun melobi, sifatnya sangat pasif menjadi bagian dari pengikut dalam konteks koalisi dan lain sebagainya.

Pada pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955, partai-partai Islam seperti Masyumi dan NU menunjukkan kekuatan politik yang signifikan, dengan Masyumi memperoleh sekitar 20,9% suara dan NU 18,4%. Meskipun secara agregat, partai-partai Islam mendekati angka 50%, mereka tidak pernah secara resmi mencapai angka tersebut. Kekuatan partai Islam pada masa itu mencerminkan keterwakilan yang kuat di kalangan masyarakat Muslim, namun, karena sistem politik yang plural dan keberadaan partai lain yang juga kuat, mereka tidak dapat dominan sepenuhnya.

Perubahan dramatis terjadi saat Indonesia memasuki era reformasi pada akhir tahun 1990-an. Reformasi politik yang dipicu oleh jatuhnya Orde Baru memberi ruang bagi lahirnya partai-partai baru dan rekonfigurasi kekuatan politik lama. Dalam pemilu tahun 1999, yang secara luas dianggap sebagai pemilu pertama yang lebih bebas dan adil setelah era Soeharto, partai-partai Islam mengalami penurunan suara yang cukup drastis. Sebagai contoh, PKB, yang didirikan tahun 1998 sebagai perpanjangan tangan dari NU dalam arena politik, mencoba untuk mengambil alih kepemimpinan politik Islam. Namun, mereka hanya memperoleh sekitar 12,6% suara, sebuah angka yang mencerminkan tantangan baru dalam konteks politik yang lebih kompetitif dan dinamis.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa walaupun basis pemilih Islam masih besar, distribusi suara di antara partai-partai Islam menunjukkan fragmentasi dukungan. Ketidakmampuan partai Islam untuk menyatukan suara umat Islam menjadi salah satu faktor mengapa mereka tidak dapat mengulangi keberhasilan masa lalu di era demokrasi yang lebih terbuka. Ini juga mencerminkan pergeseran dalam prioritas pemilih yang mungkin lebih memilih program politik dan kinerja daripada afiliasi agama yang eksplisit.

Kemampuan adaptasi PKB dan partai Islam lainnya terhadap dinamika politik baru ini menjadi kunci untuk kelangsungan mereka dalam kancah politik Indonesia. Variabilitas hasil yang mereka capai menunjukkan kompleksitas dan dinamika politik yang terus berubah di Indonesia, di mana faktor-faktor seperti kepemimpinan, koalisi, dan isu-isu aktual memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja mereka dalam pemilu.

Pada tahun 2004, pemilu menandai era baru dalam politik Indonesia dengan implementasi sistem pemilihan langsung yang lebih demokratis. Partai-partai Islam, seperti PKB, PPP, dan PBB, masih memainkan peranan penting dalam kancah politik nasional, tetapi kehadiran mereka sebagai kekuatan dominan mulai tergerus. Meskipun secara kolektif partai-partai Islam berhasil mengamankan sekitar 38,35% suara, ini menunjukkan peningkatan yang tidak signifikan dari pemilu sebelumnya yang mencatat 34,68% pada tahun 1999, sebuah peningkatan yang tidak mencerminkan pertumbuhan atau pengaruh yang berarti.

Perubahan signifikan terjadi pada pemilu tahun 2009, di mana partai-partai Islam mengalami penurunan drastis dalam perolehan suara, turun menjadi sekitar 29,2%. Salah satu faktor kunci yang berkontribusi terhadap penurunan ini adalah konflik internal yang marak terjadi di antara partai-partai ini, terutama PKB. PKB, sebagai salah satu partai Islam terbesar, mengalami konflik internal yang hebat antara dua fraksi utama: pendukung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Konflik ini mencapai puncaknya dengan pecahnya kepengurusan yang mempengaruhi konsistensi dan integritas partai di mata publik.

Selain PKB, partai-partai Islam lain seperti PPP dan PBB juga mengalami tantangan serupa, di mana ketidakstabilan internal dan kurangnya kepemimpinan yang kuat menyebabkan kegagalan dalam mempertahankan dukungan pemilih. Ketidakmampuan partai-partai ini untuk mengatasi isu-isu internal tidak hanya mengurangi efektivitas mereka dalam legislatif, tetapi juga melemahkan posisi mereka dalam negosiasi koalisi politik, di mana posisi tawar mereka menjadi tidak sekuat pada masa lalu.

Lebih jauh, trend ini diperparah oleh pergeseran preferensi pemilih yang semakin mengutamakan isu-isu ekonomi dan pembangunan daripada identitas agama yang eksklusif. Kemajuan partai-partai non-Islam yang berhasil mengartikulasikan dan mengeksekusi program-program pembangunan yang konkret semakin mengikis basis pemilih tradisional partai-partai Islam. Ini menandai transformasi dalam landascape politik Indonesia, di mana pemilih mulai lebih fokus pada kinerja dan dampak nyata dari kebijakan partai daripada identitas keagamaan semata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline