Lihat ke Halaman Asli

AN Sahlina

Editor Bahasa dan Penulis Lepas

Di Kedai Kopi

Diperbarui: 4 Juli 2023   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

AN Sahlina

     

     Aku sedang memutar otak dan mengandai-andai tentang kehidupan anak-anak ketika kudapati gawaiku memunculkan sebuah notifikasi dari salah satu teman dekat yang telah lama tidak kujumpai. Ketika membaca sebuah pesan darinya, aku bertanya-tanya tentang apa tujuan ia menghubungiku. Rupanya, ia tengah berada di Surabaya, kota tempatku menyendiri selama beberapa waktu belakangan. Mampuslah aku! Terlanjur kuberi tahu jika aku juga tengah berada di kota yang sama dan tidak kumiliki satu alasan rasional yang dapat kugunakan untuk menolak ajakannya. 

     Kalau boleh mengaku, agak malas sebenarnya aku untuk menghadiri sebuah pertemuan mendadak ini. Tapi apa lacur, aku telah mengiyakan ajakannya. Mungkin saja ia sedang membutuhkan seorang teman, sehingga ia kemudian menghubungiku setelah sekian lama kami tidak berkontak pesan apa pun. Dengan sedikit menggerutu, aku bergegas mandi lalu mengenakan busana secara serampangan. Berangkatlah aku menuju sebuah tempat yang sesungguhnya tidak asing, tetapi mulai kualienasi sejak beberapa tahun belakangan. 

     Setibanya di tempat ini, sedikit muncul keterkejutan di dalam diriku karena rupanya temanku itu tidak sendirian. Ia membawa dua orang temannya yang tidak kuketahui nama dan asal-usulnya. Dengan sedikit memaksakan diri, aku kemudian menyalami mereka satu per satu. 

     Pada menit-menit awal ketika aku berada di tempat ini, aku menyadari bahwa serangan panik mulai muncul kembali. Aku mendadak was-was pada siapa saja yang ada di sana. Tanganku mulai menunjukkan gerak-gerik anomali dan jantungku kembali mengalami palpitasi. Dua hal yang sangat kubenci rupanya datang secara gerombolan. Aku ingin menyerah dan pulang, tetapi kuurungkan keinginanku itu karena ada perasaan tidak enak dengan temanku. Di samping itu, sosok kecil di dalam diriku tiba-tiba memberontak dan berteriak di kedua telingaku.

“Sampai kapan akan menghindari semua tempat yang seharusnya tidak perlu dihindari dengan sebrutal itu?”

     Aku kemudian mengedarkan pandanganku ke seluruh sudut tempat ini. Suasana yang masih sama dengan banyak suara bariton yang menyalak-nyalak kembali mengingatkanku pada momen-momen yang sejak lama ingin kuhapus dari hipokampus di dalam otakku yang mulai mengerdil ini. Di belakang sana, di bawah pohon kamboja yang mulai bermekaran itu, aku sering menghabiskan waktu dengan seseorang yang sangat ingin kuhajar sejak empat tahun yang lalu. Seseorang di masa lalu yang hingga saat ini masih kusimpan namanya di dalam daftar nama orang-orang anjing, bahkan ia berada di urutan pertama dan selamanya akan tetap berada di urutan pertama.

     Ingatan-ingatan tentang masa lalu itu kembali menguar. Mereka bermunculan secara serentak, seperti mendung hitam yang sedang berarak-arakan di langit. Puluhan umpatan dan sumpah serapah pun sudah berjejer rapi, menunggu giliran untuk keluar dari mulutku. Tapi tetap saja, aku mencoba untuk membungkam diri karena sedang banyak orang di sini. Aku sudah bukan lagi seseorang yang tidak tahu malu untuk marah-marah di mana saja. Lagi pula, sudah bertahun-tahun aku mencoba untuk memulihkan diri dan akan menjadi sebuah usaha yang muspra jika aku memilih untuk menjadi seorang pemarah, lagi dan lagi, hanya untuk manusia anjing satu itu. 

     Pikiranku kembali ke masa lalu. Di bawah pohon kamboja itu, aku sering duduk berlama-lama dengannya.  Sebuah ritual temu yang dulu sangat kusukai meskipun tidak banyak perbincangan yang bisa kulakukan dengan orang itu. Sebuah ritual, yang jika diingat-ingat kembali, menjadi setangkai mawar merah merekah yang pada tangkainya bermukim ratusan duri. Indah dan memesona, tetapi membuatku harus membayarnya dengan secangkir darah segar karena mencoba untuk merengkuhnya.

     Stop! Aku mencoba menghentikan imaji-imaji liar yang terus mendesak untuk menguasai pikiranku malam ini. Imaji yang sejak tadi enggan mangkir meskipun aku telah menyibukkan diri dengan melakukan perbincangan bersama tiga orang di sekelilingku. Imaji anjing itu, yang telah lama ingin kuberangus sampai mampus, rupanya masih hidup. 

     Aku membenci segala hal yang berhubungan dengan cinta. Keseriusan dan komitmen hanyalah sebuah omong kosong yang dijadikan bahan dongeng oleh orang-orang beringas, termasuk Han, si brengsek yang memilih kabur sebab kecantol perempuan tinder. Belum puas dengan berperilaku seperti anjing, ia meneruskan penyiksaannya kepadaku bagaikan kaum komunis yang menyiksa para ulama. Bajingan memang!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline