Lihat ke Halaman Asli

Anriadi

Dosen

Surat Cinta Menuju Pelantikan dan Rakernas PP IMDI

Diperbarui: 7 Oktober 2022   23:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anriadi Kaizen

Oleh: Anriadi Kaizen (Ex. IMDI UNM/Alumni Ponpes DDI Al-Ihsan Kanang)

Menjelang usianya yang ke 53, Ikatan Mahasiswa Darud Da'wah wal Irsyad (IMDI) sudahlah berada dalam usia yang cukup matang. Salah satu Organisasi Kepemudaan terbesar di Sulawesi Selatan ini berada di bawah Organisasi besar Darud Da'wah wal Irsyad (DDI), juga salah satu Organisasi Kemasyarakatan dan Keagamaan terbesar di Indonesia setelah Nadhdatul Ulama dan Muhammadiyah. Ormas ini didirikan salah satunya oleh Anregurutta K.H Abdurrahman Ambo Dalle yang merupakan sosok guru, ulama, keluarga dan sahabat bahkan tokoh politik dan budaya. Masyarakat Sulawesi Selatan menjadikannya sebagai tokoh teladan yang berkarismatik dan penuh ketenangan.

Tetapi penulis tidak ingin berlarut-larut membahas DDI yang penuh sejarah dan dinamika itu dalam perjalannanya melainkan kepada anak kandungnya sendiri yaitu IMDI. Sebagai anak kandung ideologis, IMDI mewarisi spirit yang ditanamkan oleh organisasi DDI secara struktural maupun kultural. Karena IMDI adalah Badan Otonom (berdiri sendiri dengan pemerintahan dan gaya sendiri) dari DDI, maka IMDI mempunya hak dan tanggung jawab penuh mengarahkan dirinya menuju kepada cita-cita yang diinginkan oleh kader IMDI atau DDI secara ideologis.

Kelahiran IMDI tentu sangat penting bagi DDI, sebab DDI membutuhkan generasi segar, berideologis, memiliki semangat pengabdian pada agama, bangsa dan DDI. Kepengurusan DDI dimasa yang akan datang berada ditangan kader IMDI hari ini, maka tidak heran IMDI harus menjadi salah satu prioritas utama bagi DDI jika masih mengharap masa depan DDI yang cerah dan diurus oleh kader-kader murni serta ikhlas. Banyaknya pengurus DDI yang tidak memiliki spirit ideologis terbukti hanya menjadi beban dan benalu bagi DDI dan menjadikannya sebagai batu loncatan dalam mencapai kepentingan politik praktis dan materialis. Alih-alih ingin menghidupi amal pendidikan DDI, oknum itu justru merasa memiliki secara pribadi sekolah, pesantren, kampus serta amal pendidikan dan sosial DDI lain. Faktanya beberapa pengurus sekolah, kampus dan pesantren DDI menolak diganti oleh PB DDI meskipun ia telah menjadi pimpinan tertinggi dan terlama, salah satunya justru kembali membangun kekuatan massa kemudian melawan keputusan PB DDI. Ironis.

Fakta kelam ini sudah lama menjangkiti tubuh DDI adalah akibat dari matinya proses kaderisasi di DDI. Banyak yang mengaku sebagai warga DDI hanya ketika menjabat dalam tubuh sekolah, pesantren atau kampus DDI tetapi justru mereka menggerogoti milik DDI itu dengan alasan bahwa "ini adalah buah kerja keras dan warisan keluarga saya". pesan dan petuah Gurutta Ambo Dalle kini dilupakan, "Anukku Anunna DDI, Anunna DDI tannia Anukku", milikku adalah milik DDI, tetapi milik DDI tannia anukku. Sepertinya itu hanyalah pepatah tua yang sudah ditinggal zaman.

Kehadiran IMDI diharap menyelesaikan problem itu sebagai kader yang murni dan berideologis untuk masuk mengendalikan seluruh sekolah, pesantren dan kampus DDi dan mengarahkan sesuai kaidah dan tujuan organisasi, juga agar tidak diisi oleh orang-orang yang non kader (penyusup).

Menjelang Pelantikan dan Rapat Kerja Nasional PP IMDI, kita punya PR besar menyiapkan kader yang mampu survive tidak hanya di lingkup internal IMDI atau DDI tetapi juga survive dalam ranah kemahasiswaaan, keagamaan, dan kebangsaan.

Kendati demikian, dengan umurnya yang sudah melewati setengah abad itu, IMDI justru mengalami degradasi dan dilematis yang parah. Terlalu banyaknya masalah dan dinamika yang tidak sehat serta menjamurnya paham senioritas dan issu sektarianisme ego asal daerah menjadikan IMDI menjadi sempit dan tertutup (Eksklusif). Beberapa pengurus IMDI meminta untuk diapresiasi atas kerja masa lalunya meski minim prestasi.

Gerakan ekspansi ke provinsi lain di luar sulsel justru tidak bertahan lama. Wawasan intelektual dan kajian kemahasiswaan, keagamaan dan kebangsaan sangat langka didapati di komisariat. kampus DDI yang tersebar hampir di seluruh kota dan kabupaten di Sulawesi Selatan justru dikuasai organisasi warna lain, lucunya sebagian warna itu menarik kader IMDI dengan kalimat jebakan "IMDI dan ini kan sama ji" menipu kader IMDI agar lebih memprioritaskan warna lain daripada IMDI itu sendiri. Parahnya lagi, beberapa senior pengkhianat dibeberapa daerah justru mengajak dan membesarkan warna lain di kampus DDI. 

Kehadiran Pimpinan Wilayah  IMDI Sulawesi Selatan  yang diharap mampu menekan degrasi ini justru menjadi beban dan membawa masalah baru. Alih-alih ingin mengepakkan sayapnya di daerah lain, PW IMDI Sulsel justru mematikan cabang IMDI yang sudah hidup didalamnya sedari dulu dengan kerja keras. Cabang Pangkep dan Sidrap adalah saksi korban bisu dari kediktatoran Pimpinan Wilayah atas kebijakan organisasi yang tidak bijak membunuh cabang tersebut. Alhasil warna organisasi lain yang sudah haus ingin menguasai mahasiswa di kampus DDI berlomba-lomba memangsa mahasiswa DDI  sedangkan PW hanya sibuk nongkrong dan konsolidasi omong kosong membentuk cabang baru yang sampai hari ini tidak jadi-jadi. Lalu apa prestasinya?  yang dikerja apa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir? bermanfaatkah itu untuk cabang? jika tidak, kehadiran PW IMDI Sulsel perlu dievaluasi secara serius kalau perlu dibubarkan. kehadiran PP IMDI memegang tanggung jawab penuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline