Sedang hangat-hangatnya isu tentang pasal revisi UU MD3. Revisi pasal tersebut memunculkan kontroversi berkaitan tentang DPR dan lembaga legislatif lainnya yang terkesan anti kritik.
Ada tiga pasal yang menjadi sorotan Publik terutama peneliti maupun pengamat dunia perpolitikan Indonesia, yang pertama adalah pasal 73 yang berisi tentang kepolisian yang "wajib" membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR.
Kedua pasal 122 huruf K yang berisikan tentang MKD bertugas mengambil langkah hukum terhadap orang, pihak, atau oknum yang melakukan tindakan merendahkan kehormatan dari DPR maupun anggotanya. Dan ketiga adalah pasal 245 yang berisi mengenai pemeriksaan bagi anggota DPR harus melalui tahap pertimbangan dari MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) sebelum diberikan pada tahap presiden untuk diberinya izin untuk aparat penegak hukum. (nasional.kompas.com)
Ketiga pasal tersebut secara cepat menimbulkan pandangan kontroversi bagi banyak kalangan termasuk publik sendiri. Kemudian dipertanyakan tentang bagaimana sistem demokrasi yang ada di Negara ketika kemudian lembaga legislatif sendiri "Kebal" terhadap hukum. Sebuah revisi pasal yang juga mengundang banyak pihak untuk mengkaji pasal tersebut.
Maka ketika berbicara tentang sistem demokrasi yang seakan tidak dihiraukan, meskipun lembaga legislatif tersebut pernah menyinggung berkaitan tentang demokrasi pun ada batasnya, dipertanyakanlah pula tentang bagaimana peran Pers dalam menanggapi hal tersebut.
Pers adalah lembaga sosial yang memiliki fungsi sosial untuk menyalurkan apa yang terjadi pada situasi Negara terhadap rakyat. Kemudian, ketika melihat pasal 122 huruf K tersebut, bagaimana Pers memahami tindakan merendahkan adalah tindakan yang seperti apa. Apakah kritik tentang macetnya DPR dalam pembuatan kebijakan juga merupakan tindakan merendahkan? Apakah bergumam di media sosial dengan menyinggung DPR juga kegiatan merendahkan?
Menyuarakan informasi/pendapat semakin mudah untuk dilakukan terutama pada era ini. Mengingat juga fenomena Citizen Journalism semakin dilakukan oleh banyak kalangan masyarakat. Bagi penulis, lembaga pembuatan kebijakan juga perlu untuk melihat hal tersebut, bagaimana kemudian menanamkan ide maupun ilmu pengetahuan kepada masyarakatnya untuk kemudian berfikir secara lebih terstruktur sehingga tidak menyalahgunakan kemudahannya dalam menyuarakan pendapat/informasi.
Kembali lagi kepada Pers yang dinaungi oleh UU yang juga terdapat bahasan tentang kebebasan Pers. Artinya adalah Pers sebagai lembaga sosial yang menyalurkan informasi kepada masyarakat tentunya perlu untuk memberitakan informasi yang senetral mungkin. Maksudnya di sini adalah kondisi perpolitikan Indonesia.
Pers berhak untuk kemudian menjadi corong akan apa yang terjadi dalam situasi politik Indonesia, entah situasi baik atau buruk, itu kemudian adalah publik yang menilai. Namun bagaimana bila mindset publik yang kemudian terbangun adalah mindsetnegatif tentang pemerintah? Apakah yang dianggap merendahkan adalah Pers yang memberikan informasi, atau publik menginterpretasikannya secara kurang tepat?
Dalam situasi ini tentunya diperlukan adanya keterbukaan yang secara lebih dilakukan oleh semua pihak. Masyarakat adalah pihak yang menilai, pihak pemerintah kemudian diharapkan dapat menerima hal tersebut dengan keterbukaan pula. Namun apabila terdapat revisi UU MD3 tersebut, apakah masih ada cerminan dari keterbukaan?
Berbagai pertanyaan kemudian muncul ketika adanya kontroversi terjadi. Namun sebagai masyarakat diharapkan perlu untuk melihat secara jernih akan apa yang diberitakan oleh pihak Pers.