'Penen tiba, petani desa memetik harapan.' lirik Iwan Fals bertalu-talu melalui kedua telingaku sambil kulihati anak-anak di kampungku berjingkrak jingkrak dan saling kejar.
Beberapa di antaranya masih ada yang bermain kelereng, juga main enggo' karena menjelang malam telah tiba.
Suara-suara hewan malam pun mulai mengiang ngiang di telinga, suara panggilan azan maghrib dari surau kami mulai terdengar. Tak jauh dari rumahku, sungai mengaliri airnya penuh irama desiran mengantarkan kami sekampung menjemput malam.
******
Kedua orang tuaku, kulihat duduk di teras menerima tiga orang tamu yang sebayanya. Di atas meja kayu nampak terlihat kopi kampung diserta pisang goreng dan ubi rebus yang tentunya masih ranum dan segar.
Sayup-sayup kudengar mereka membahas tentang pemilihan kepala desa yang tak lama lagi bakalan berlangsung di kampungku, Desa Labitar--yang cukup dari itu kota Kabupaten apalagi ibu Kota provinsi.
Desa Labitar adalah berpenduduk petani, sama sekali tak satupun yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil apalagi pegawai swasta. Macam-macam pula watak, keluguan, bodoh mungkin iya, dan kebanyakan di antaranya adalah pecundang berkelas wahid.
Sebulan lagi pemilihan kepala desa berlangsung, panitia pemilihan telah terbentuk, jadwalnya pun telah tersusun melalui papan pengumuman surau serta desar desir dari cerita mulut para warga.
Dan kata tamu ayahku, yang sangat bangga bukan mainnya adalah inilah Pilkades pertama di Indonesia yang akan menerapkan sistem demokrasi paling adil diantara pesta demokrasi lainnya.
"Pilpres saja kalah sobat" ujar Rasbuddin, ayah dari temanku yang bodoh dan lugu minta ampun di kelas. Mengapa kusebut bodoh, sebab setiap mata pelajaran matematika ia meminta pada bu guru kelas agar menanyainya perkalian yang gampang gampang saja.
"Jangan paksakan saya untuk pandai matematika, bahaya jika saya cerdas bu. Pandailah nanti saya kelak jika besar, mencuri uang negara seperti mereka yang pandai berhitung itu," ujar Kasirun pada bu guru.
"Siapa yang ajari kau berkata seperti itu run", tegur bu guru. "Ayahku bu, menurutku dia paling pintar di kampung ini," seloroh Kasirun bangga.