Lihat ke Halaman Asli

Ano suparno

Penulis Jalanan

Cerpen | Orang-orang yang Mirip

Diperbarui: 28 November 2019   14:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : ilustrasi - tribun Jambi

Tak seperti biasanya, pengunjung cafe ini kukenali wajahnya. Kalau pun tak mengenalnya pada nama dan asal muasal setidaknya wajahnya pernah kulihati duduk pada sederet kursi yang disediakan oleh owner cafe ini.  

"Om, bisa kah tamu yang sana duduk di sini?" Pinta seorang barista, sambil mengarahkan telunjuknya pada sekumpulan perempuan memesan beberapa minuman. "Berempat katanya Ka'" katanya lagi. Sambil membereskan kursi ku, buku yang sedang kubaca lalu kulihat rapi, ipad yang telah menyambungkan headset untuk mendengarkan music Armin Van Buuren live in Convert 2017 kusingkirkan. Sedikit menyudut,  pada meja yang cukup memanjang lebar ini.

Setelah setelan duduk ini pas, kubukalah kembali novel sambil membacanya. Beberapakali tawa dan senyum tak luput pula sedikit semangat jika menemui beberapa kalimat inspirasi novel "Orang orang Biasa" yang sedang kubacai ini. Adalah segerombol geng yang terdiri dari manusia bodoh, pemalas,  lugu dan dungu tetapi menghadapi dunia ini penuh kegembiraan. Tak ada cita cita pada benak mereka, pendek sekali pikirannya. 

Lalu  sesekali mataku melihat ke arah empat perempuan yang sedang menikmati makanan dan minumannya, duduk yang hanya berjarak satu kursi dari posisiku. Dentuman drum, lengkingan gitar disertai suara  vokalis melalui headtset biru ku ini, riuh ribuan penonton berambut keemasan, tak mempan oleh tawa dan suara suara keempat perempuan tersebut.

Mereka berkerudung, bertiga terlihat sangat kompak mengenakan kerudung berwarna krem. Kubuka headset ku. Silih berganti tak keruan, saling melayangkan pendapat sambil tertawa.  Kusebut saja namanya, tetapi samaran.  Perempuan yang paling ujung kunamai puji, duduk pas dihadapannya adalah Dina, kemudian samping Dina duduk Riani. Sementara duduk di samping puji adalah Lia.  

Baik Riani, Lia dan Puji memiliki kemiripan. Hidung yang tak muncul, suara lumayan melengking jika tertawa, bentuk badannya pun mirip artis lawas Ratmi B29. Jika tak sedang berbicara,  sudah dapat dibayangkan jika ketiganya humoris, sangat sangat humoris. 

"Apa? Mau beli tiket ke Jepang?",  seloroh Dina, alu mengernyitkan keningnya. Tak cukup dua detik, tawa mereka melengking, seorang barista melihatnya ikut pula tersenyum sementara rombongan perempuan ini tak hirau oleh sekitarnya. 

Yah pantas saja, sebab mereka telah membeli minuman serta cemilan sehingga atas dasar itu mereka pun telah sepadan dengan seluruh pengunjung cafe, termasuk beberapa pengunjung duduk di pojok, berdasi serta berpakaian rapi yang masih nampak jelas lipatan bekas setrika laundry. 

Puji kerapkali tertawa, ia terpingkal pingkal, badannya yang bertabur lemak itu ikut pula naik turun tak keruan oleh goncangan tawanya. Sementara pipi dan matanya, menyatu seperti telah dipukul oleh petinju kelas berat. Tawanya seperti sedang dangdutan itu memecah suara speaker cafe yang terpasang pada setiap sudut.

Puji yang benar benar mirip Ratmi B29  ikut menimpali rekannya, bahwa Ini adalah zaman internet segala impian dapat saja terlaksana termasuk terbang menggunakan pesawat ke Jepang. "Sejak SD saya bercita cita ke sana," sahut Ratmi, yang kira kira telah berusia 39 tahunan itu. 

Dapatlah di bayangkan,  dengan usia 39 tahun Puji masih sanggup mengingat cita cita nya, entah sedang menghayal atau sekedar mengisi bunga bunga pada pembicaraan mereka agar tak pernah ada hening pada meja nya. Sebab jika melihat kelakar pada  gang ini nampaknya mereka adalah orang orang yang suka gaduh dan tak suka melihat suasana sepi.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline