Tokoh perdamaian bukan hanya telah melekat pada diri Jusuf Kalla tetapi juga telah melekat pada jiwa seorang tokoh asal Bone Sulawesi Selatan itu. Tengoklah, tak cukup sebulan setelah tak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla tetap mendapat penghormatan dari pemimpin dunia.
Bukan sebagai pejabat negara, melainkan sebagai pejabat kemanusiaan. Sambil ngopi pada tengah malam ini, tak ada teman ngobrol sebagaimana pada pagi hingga sore hari, ku buka laman sosial media. Kubacai demi kubaca beberapa informasi melalui laman komentar. Media berbasis sosial seperti instagram, twitter, YouTube dan Facebook.
Cukup lama, mencari celah sekiranya ada yang menarik buat bahan tulisan. Maklum, malam ini adrenalin penulis jalanan itu, menyeruak sedemikian rupa. Lalu tiba mataku, tertuju pada sosok manusia semampai, berjas.
Pria berkacamata itu sedang melangkah tepat di altar karpet merah. Pada sisi kirinya, seorang pejabat negara dunia, YM Samdech Techo Hun Sen Perdana Menteri Kamboja ikut berjalan mendampinginya, sepantasnya seorang pejabat negara tetangga.
Dia adalah, Jusuf Kalla, atau lebih akrab disapa JK, Senin 18 November 2019 bersama rombongannya, Syafruddin mantan Wakapolri dan Menpan RB, Husain Abdullah mantan Jubir Wapres istana 2, Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM, Yadi Jenthak pengurus DMI.
JK, rupanya sedang dijemput oleh Hun Sen guna menghadiri Forum Universal Peace Federation (UPF) Asia Pacific Summit 2019., yang dihadiri 18 pemimpin negara.
JK selaku pejabat kemanusiaan, diundang untuk berbagi pengalamannya mendamaikan beragam konflik di Indonesia serta bagaimana peran dan jiwa JK menangani segala bencana di negeri ini.
20 Desember 2001, alam pikiran ku terbawa ke sana, sebuah kota nan sejuk dipenuhi pinus serta bunga mewangian, Malino. Hape merk Motorola, yang bentuknya tebal seperti batu bata. Jika ada yang menelepon, layarnya bagaikan mata burung hantu, menyalak merah.
Sore itu, berdering, nomor asal penelpon tak tertera pertanda berasal dari luar negeri. "Ano, segeralah kau kirim audio hasil deklarasi Malino itu. 40 negara asing akan mendengar suaramu", begitu pesan suara berat dan khas Pam Simandjuntak, produser radio BBC London dari ujung telepon markas BBC World Service di London, kala itu itu 20 Desember 2001.
Tak jauh dari tempatku menerima telepon, seorang pejabat teras kepolisian daerah Sulawesi Selatan mengikutiku, bertanya penuh curiga "kau mau ke mana? Bahan apa lagi yang yang kau kirim ke luar negeri", tegur nya sambil nyindir, sebab ia tau ke mana saya akan mengirimnya. Kubilangi, tenang saja, kita semua ingin damai.
Sekitar 20 menit lamanya, sambungan jarak jauh kembali berlangsung. Kubacakan pengantar, tentang daerah yang pernah berkonflik dan saling bunuh sejak tahun 1998, akhirnya damai di tangan Jusuf Kalla. Lalu kemudian suara Jusuf Kalla terecord tajam dan jernih di markas siaran radio terbesar di dunia itu.