Eksistensi memiliki arti keberadaan, dari sebuah kata dasar "eksis" yang berarti "ada". Eksistensi bukan sekedar ada, namun harus diketahui dan dipahami oleh publik secara luas. Apakah sudah ada hukum di Indonesia? Ada. Apakah publik sudah mengetahui dan memahami hukum secara baik? Belum tentu. Sebagai seorang yang tidak memiliki latar belakang keilmuan hukum sebelumnya, saya termasuk orang yang tahu hukum namun tidak mengetahui dan memahami hukum itu sendiri secara baik. Walaupun sesungguhnya hukum selalu berada berdampingan dengan pekerjaan yang saya lakukan sebagai seorang statistisi, tapi saya kurang atau bahkan tidak memahami bahwa itu adalah bagian dari hukum. Inilah yang menjadi latar belakang perenungan saya tentang eksistensi hukum dalam masyarakat dan pembangunan ini, tentunya berasal dari kacamata seorang statistisi
Dalam kegiatan Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), saya berkesempatan mewawancari responden seorang petani yang sedang mengangon bebek-bebeknya di salah satu desa dengan entengnya menjawab "tidak tahu" ketika ditanya "apa itu korupsi?". Kita tidak perlu heran jika petani tersebut juga akan menjawab "tidak tahu" ketika kita menanyakan "apa itu hukum?".
Dari contoh diatas saya menganalogikan eksistensi hukum mengacu pada system kerja resonansi pada garpu tala. Resonansi adalah peristiwa ikut bergetarnya suatu benda karena ada benda lain yang bergetar dan memiliki frekuensi yang sama atau kelipatan bilangan bulat dari frekuensi tersebut. Ketika garpu tala dengan frekuensi tertentu dibunyikan, maka getaran akan mengusik udara disekitar sehingga garpu tala lain yang memiliki frekuensi yang sama dengan garpu tala tadi akan ikut bergetar dan berbunyi. Saat ini eksistensi hukum kita seperti garputala yang memiliki frekuensi yang berbeda, Eksistensi hukum kita berjalan masing-masing mengikuti kepentingan kelompok. Hukum kita belum beresonansi sepenuhnya. Kebanyakan "oknum-oknum" pejabat memberikan suatu teladan yang buruk kepada rakyat jelata (seperti contoh petani tersebut diatas) ketimbang melaksanakan hukum dengan sebenar-benarnya. Slogan Indonesia adalah negara hukum seakan berjalan ditempat, tajam kebawah tetapi tumpul keatas.
Hukum yang ujung-ujungnya bersumber pada kepentingan (interested) yang tidak bisa dipaksakan analoginya seperti api yang tidak membakar ataupun sebuah lampu yang tidak menyala. Hukum hanya dijadikan symbol belaka tanpa bisa berbuat banyak. Walaupun sesungguhnya kita memahami ataupun tidak memahami, kita menghendaki ataupun tidak menghendaki, kita menyetujui ataupun tidak menyetujui, pada kenyataannya adalah bahwa hukum itu hadir. Ada sebuah pertanyaan mendasar kapan kita tidak memerlukan hukum? Jawabannya saat melakukan perenungan ini saya tidak memerlukan hukum. Pada dasarnya manusia yang hidupnya sendirian saja, maka dia tidak memerlukan hukum, karena memang tidak ada manusia yang hidupnya sendirian. Namun pada kondisi-kondisi tertentu misalkan saat merenungkan tugas, meratapi diri ketika patah hati atau disaat kondisi memungkinkan kita untuk melakukan aktivitas yang hanya melibatkan diri kita sendiri, maka disaat itulah kita tidak memerlukan hukum.
HUKUM MENGUNGKAP MANUSIA SESUNGGUHNYA
Hukum bukan hanya ada, namun juga bekerja dimana saja dimana ada manusia, dan disegala bidang : publik dan politik, perdata dan ekonomi, umum dan kebudayaan, bahkan dibidang apapun semua ada. Bahkan di statistik pun ada hukum. Undang-Undang Statistik yang mengatur penyelenggaraan kegiatan statistik merupakan bagian dari sumber hukum statistik, yang selama ini tidak pernah saya sadari bahwa sejak dahulu ternyata hukum di statistik itu sudah eksis.
Mengapa saya yang pada dasarnya seorang statistisi murni, memiliki pemikiran yang didesain untuk menyelesaikan pekerjaan secara eksakta tiba-tiba berkecimpung dalam kuliah strata tertinggi di bidang hukum?. Hasil perenungan ini saya telah menemukan jawabannya dan saya tuangkan dalam tulisan ini. Seharusnya sebelum membahas mengenai eksistensi hukum, saya terlebih dahulu membahas mengenai eksistensi diri saya sendiri mengapa bisa berkecimpung dalam bidang hukum.
Hukum ternyata dapat mengungkapkan siapa sesungguhnya manusia itu. Hukum dapat menguji bagaimana karakter seseorang yang sesungguhnya. Tabiat dasar manusia itu aalah condong untuk berbuat buruk jika tidak dipaksa berbuat baik. Biasanya perbuatan buruk/negatif itu lebih menyenangkan dilakukan dibandingkan perbuatan baik. Contoh, kita lebih condong untuk meninggalkan ibadah wajib dibandingkan dengan menunaikannya tepat waktu, kita lebih condong untuk memilih mengikuti kegiatan pesta-pesta karaoke disbanding kegiatan belajar kelompok dan lain sebagainya. Hukum mengatur itu semua, hukum menata hidup kita bahwa sesungguhnya perbuatan baik akan mendatangkan konsekuensi yang baik pula pada masa yang akan datang.
Apakah ada perbuatan yang lebih merusak dari perbuatan buruk yang dilakukan oleh diri kita sendiri? Ada. Memberikan teladan yang buruk adalah lebih merusak daripada perbuatan dosa. Perbuatan dosa yang menanggung adalah diri kita sendiri, sedangkan teladan yang buruk dan dijadikan contoh bagi para pengikutnya maka akan mendatangkan dosa massal. Itu sebabnya dalam hukum pejabat ataupun tokoh yang dianggap contoh bagi masyarakat jika memberikan teladan yang buruk dengan melakukan perbuatan pelanggaran hukum maka harus dijatuhi hukuman tambahan dari hukuman maksimal yang diancamkan.
Kembali pada perenungan sesungguhnya saat ini kita sedang mengalami disfungsi hukum. Saat ini ketaatan masyarakat pada hukum lebih rendah dibandingkan menipulasi hukum oleh pejabat penguasa, atau kondisi dimana tingginya tingkat pelanggaran terhadap hukum dibandingkan dengan gagal atau tidak berniatnya pemerintah untuk membuat hukum ini berfungsi. Contoh kecil ketika berada dipersimpangan jalan yang terdapat lampu lalu lintas, masih terdapat banyak pelanggar yang menerobos dan tidak mematuhi rambu-rambu tersebut. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa saat ini kita berada pada posisi menuju disfungsi hukum.
Dalam masyarakat sudah terdapat sebuah sarkasme umum yang menyatakan bahwa seseorang yang kehilangan seekor kambing dan melaporkannya kepada "petugas", maka akan berujung pada keadaan dimana seseorang tersebut akan menjadi kehilangan dua ekor kambing. Ketidakpercayaan masyarakat kepada penegak hukum merupakan indikasi lain bahwa kita saat ini sedang menuju disfungsi hukum.