Pemilu presiden merupakan kontestasi politik yang selalu ditunggu tunggu tiap lima tahun sekali. Namun ditahun 2019 terasa berbeda dengan tahun tahun sebelumnya. Hal ini ditulis didalam artikel Indonesia dalam Konflik Politik Identitas. Dalam artikel tersebut terdapat dua faktor penyebab politik identitas menjadi perbincangan publik akhir akhir ini; pertama, absennya kontestasi ideologi menyebabkan seluruh kekuatan politik ini mengandalkan identitas sebagai daya tarik dan daya ikat konstituennya. Kedua, politik identitas ini juga terfasilitasi oleh perkembangan kelembagaan politik pasca Soeharto, khususnya dengan maraknya pemekaran daerah- daerah baru hasil dari kebijakan otonomi daerah.
Saya sangat setuju dengan artikel tersebut khususnya mengenai dua faktor penyebab politik identitas menjadi perbincangan publik akhir akhir ini. Opini ini tentunya tak hanya sekedar opini pribadi. Faktor adanya kontestasi ideologi yang disebutkan dalam artikel tersebut sejalan dengan pernyataan Buchari (19;2014) politik
Identitas secara teoritis adalah sesuatu yang bersifat hidup atau ada dalam setiap etnis serta agama sebagai suatu tanda maupun ciri khas dari setiap individu yang bersifat latendan potensial, serta sewaktu - waktu dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan politik yang dominan. Secara empiris, politik identitas adalah aktualisasi partisipasi politik, yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat, danmengalami proses internalisasi secara terus menerus di dalam kebudayaan masyarakatnya dalam suatu jalinan interaksi sosial.
Dalam hal ini dapat diambil contoh kasus Penistaan Agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ahok. Kasus tersebut tiba tiba muncul ke permukaan dan menjadi konsumsi publik.
Saya menganggap bahwa kasus tersebut menjadi awal bangkitnya kembali politik identitas di Indonesia. Ahok yang dikatakan sebagai penista agama kala itu, menjadi bahan amukan kaum yang merasa agamanya dihina, dan kasus tersebut merupakan momentum bagi golongan tertentu untuk memantapkan langkahnya dalam kontestasi politik. Momentum ini tidak dapat dilewatkan karena kesadaran umat muslim kala itu sedang benar benar terbuka.
Dilain sisi sifat kedaerahan juga muncul akibat dari kebijakan otonomi daerah. Menurut Setyaningrum (2015), politik identitas memang sangat identik kaitannya dengan etnis, identitas serta agama yang selalu diperjuangkan untuk mencapai tujuan politik yang diinginkan, karena politik identitas muncul adanya kesamaan nasib yang dirasakan oleh para etnis.
Namun politik identitas tak semerta merta hanya menyebabkan hal positif saja, dilain sisi politik identitas bisa dianggap pisau bermata dua yang kapanpun bisa melukai penggunanya. Indonesia yang memiliki asas persatuan yang tercantum pada Sila ke- 3 Pancasila bisa saja hancur akibat politik identitas. Politik identitas memicu keterbelahan sosial dimasyarakat, dan penggolongan terhadap pilihan politik masyarakat yang akhirnya memicu perpecahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H