Tulisan ini tidak bermaksud untuk "membandingkan" (comparing) apalagi "mempertentangkan" (contrasting) dua paradigma/tradisi penelitian, yaitu penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Masing-masing paradigma/tradisi memiliki pijakan filosofis yang berbeda, bahkan bertentangan dalam aspek asumsi-asumsi tentang dunia, tujuan penelitian, metode penelitian, studi prototipikal, peran peneliti, dan arti penting konteks penelitian.
Perbedaan-perbedaan tersebut tak mungkin diperbandingkan. Semuanya benar, semua sah untuk memecahkan masalah dan menemukan solusi keilmuan. Seperti kata Kuhn (1970) "The normal-scientific tradition that emerges from a scientific revolution is not only incompatible but often actually incommensurable with that which has gone before."
Salah satu diantara perbedaan tersebut adalah bagaimana kedua paradigma/tradisi penelitian tersebut menyusun atau merumuskan generalisasi.
Generalisasi: Konseptualisasi dan Teoresasi Temuan Penelitian
Penting ditegaskan dan dimengerti oleh peneliti, bahwa setiap penelitian kuantitatif maupun kualitatif harus sampai pada perumusan/penyusunan generalisasi sebagai hasil akhir dari penelitian. Generalisasi disusun dan dirumuskan berdasarkan konseptualisasi dan teoresasi (conceptualizing dan theorizing) peneliti terhadap temuan/hasil penelitiannya.
Dalam hal ini tampaknya ada kekhilafan pada sebagian kalangan peneliti (kuantitatif), bahwa produk akhir dari penelitian kuantitatif adalah berupa pembuktian apakah hipotesis yang diajukan ditolak atau diterima, dan simpulan hanya mengulang lagi pernyataan tersebut. Padahal, sejatinya, setiap penelitian harus memberikan manfaat dan kontribusi terhadap pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini hanya bisa dilakukan jika peneliti melakukan proses konseptualisasi/teoresasi atas temuan/hasil penelitiannya dalam bentuk generalisasi.
Konseptualisasi (conceptualizing) dan teorisasi (theorizing) adalah kegiatan akhir peneliti untuk merumuskan/menyusun generalisasi. Kegiatan ini lazimnya dilakukan pada bagian Pembahasan (Discussion) atau apalah namanya. Melalui kegiatan konseptualisasi dan teoresasi ini peneliti diharapkan dapat menyusun/merumuskan "teori baru" (fakta, proposisi, konsep, generalisasi) sebagai "kebaruan" (novelty/ies) yang diperoleh dari hasil/temuan penelitian. Tidak masalah, apakah kebaruan sebagai hasil/temuan penelitian tersebut berupa penemuan "verified theory" menurut model uji-verifikasi (Bacon, 1620), "corroborated theory" menurut model uji-falsifikasi (Popper, 2005), "extraordinary science" menurut model uji-eksperimen anomali (Kuhn, 1970), atau "grounded theory" menurut model riset kualitatif (Glaser & Straust, 2006). Diskusi tentang hal ini bisa ditelusur pada artikel "Sekali Lagi, Novelty(ies)" (Farisi, 2021), dan "Review Literatur: Satu Nama Tiga Makna dan Narasi" (Farisi, 2022).
Jika penulis/peneliti mampu melakukannya, hal ini juga akan memperlihatkan "klas" penulis/peneliti dalam perdebatan ilmiah terkait dengan masalah/topik/teori yang sedang dikaji dan diuji, serta kontribusinya terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan (Bungin, 2020). Karena sejatinya, ilmu/sains berkembang "in a co-constitutive environment of organizations and networks (of scientific citation) that is shaped by social, technical, and economic changes" (Shwed & Bearman, 2010:820).
Namun demikian, setiap peneliti juga harus benar-benar mafhum, bahwa bagaimana generalisasi disusun atau dirumuskan, dan bagaimana pula keberlakuan generalisasi, berbeda antara tradisi penelitian kuantitatif dan kualitatif. Perbedaan ini juga kerap luput dari perhatian peneliti, padahal memiliki implikasi metodologis dan teoretis yang menarik untuk dicermati. Gambar 2 menggambarkan model perumusan generalisasi dalam tradisi kuantitatif dan kualitatif (Neuman, 2014: 70).