Sinta duduk di kursi kayu yang sudah mulai rapuh di teras rumah sederhana mereka. Angin sore yang sejuk menyentuh wajahnya, tapi di matanya, ada bayangan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. Sejak perceraiannya dengan suaminya tiga tahun lalu, hidupnya tidak pernah lagi sama. Kini, ia hanya punya satu yang harus diperjuangkan—Septi, putri kecilnya yang baru berusia enam tahun.
Sinta bekerja keras setiap hari. Pagi-pagi sekali ia sudah bangun, menyiapkan sarapan, memandikan Septi, dan mengantarnya ke sekolah. Setelah itu, ia buru-buru pergi ke toko kelontong miliknya yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kadang ia merasa tubuhnya lelah, hatinya lelah, tetapi selalu ada senyum Septi yang membuatnya tetap bertahan.
"Ma, kenapa mereka bilang kalau mama nggak bisa bahagia?" tanya Septi suatu hari. Sinta menatap anaknya dengan lembut, merasakan betapa berat pertanyaan itu untuk dijawab.
"Kadang, orang-orang memang suka berbicara tanpa tahu keadaan yang sebenarnya, sayang," jawab Sinta sambil mengelus kepala Septi. "Mama hanya ingin kita bisa bahagia. Tidak peduli apa yang orang katakan."
Namun, meskipun berusaha tegar, Sinta tahu tidak mudah untuk menjadi seorang single mom di tengah pandangan masyarakat yang sering menghakimi. Cibiran tentang status perceraiannya datang dari mana-mana—baik dari tetangga, teman-temannya, bahkan keluarga. Beberapa orang masih sering menganggapnya kurang pantas karena gagal mempertahankan rumah tangganya. Tapi ia tak peduli. Semua yang ia pikirkan hanyalah Septi, anak yang paling dia cintai di dunia.
Hingga suatu hari, dalam sebuah acara keluarga besar, Sinta bertemu dengan Sultan, sepupu jauh dari adiknya. Sultan adalah pria yang cukup sukses, masih bujangan, dan sudah dikenal oleh banyak orang karena kepiawaiannya dalam berbisnis. Namun, di mata Sinta, ia hanya seorang pria biasa yang tidak akan pernah memperhatikan seorang wanita sepertinya.
Namun, Sultan tidak melihatnya seperti itu. Dia terkesima dengan kegigihan Sinta. Ketika mereka berbicara, Sultan bisa merasakan kekuatan dan ketulusan dalam setiap kata-kata Sinta. Dia melihat bagaimana Sinta tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi untuk masa depan Septi. Sinta adalah ibu yang luar biasa, dan Sultan merasa terinspirasi oleh keberanian dan keteguhannya.
Sejak pertemuan pertama itu, Sultan mulai mengagumi Sinta dari jauh. Setiap kali ada kesempatan untuk berbicara lebih lama, Sultan tak pernah melewatkannya. Sinta yang pada awalnya hanya menganggapnya sebagai pria biasa, perlahan mulai membuka hatinya untuk Sultan. Meskipun masih ada rasa takut, takut akan apa yang orang katakan atau bahkan takut jatuh cinta lagi, Sinta merasa nyaman di dekat Sultan.
"Sinta, aku tahu banyak orang mungkin meremehkanmu. Tapi aku melihat sesuatu yang berbeda. Kamu luar biasa, kamu berjuang lebih keras dari siapa pun yang aku kenal. Aku ingin melindungimu, aku ingin membuat hidupmu lebih mudah, dan aku ingin melihat kamu bahagia," kata Sultan dengan tulus di suatu malam ketika mereka duduk berdua di halaman rumah Sinta.
Sinta terdiam sejenak, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tidak mencari perlindungan, Sultan. Aku hanya ingin anakku bahagia. Itu saja."