Di sudut-sudut negeri ini, kita sering menjumpai sosok guru honorer yang dengan penuh dedikasi mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Meski gaji yang mereka terima terkadang jauh dari kata layak, semangat mereka untuk mengajar tak pernah padam. Bu Juliantika, misalnya, adalah seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar di desa terpencil. Setiap hari, ia menempuh perjalanan yang cukup jauh hanya untuk memberikan ilmu kepada anak-anak didiknya. Gaji yang diterima guru honorer seringkali jauh di bawah UMK dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tunjangan seperti tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, dan tunjangan lainnya seringkali tidak diberikan atau jumlahnya sangat kecil. Terlebih lagi biaya kebutuhan hidup di kota begitu tinggi di era yang semakin modern ini.
Untuk dapat menyeimbangkan perekonomiannya, Bu Juliantika memiliki usaha sampingan yakni berjualan makanan selepas mengajar. Beliau biasa menjajakannya dengan berkeliling daerah sekitar tempatnya tinggal. Tak hanya itu, Bu Juliantika juga sosok aktivis lingkungan yang ingin turut andil dalam kebersihan dan pemanfaatan sampah daur ulang. Dari hasil beliau berkeliling, beliau menyambinya dengan mencari rongsokan yang dapat dijualnya pada pengepul. Di samping memperoleh pendapatan dari berjualan, bonusnya dapat turut serta menjaga lingkungan yang bisa dicontoh untuk anak didiknya.
Suatu kali pada saat mengajar, beliau kerap menjelaskan bagaimana caranya ia dapat mengumpulkan sampah untuk dijual serta pengelolaannya untuk daur ulang kepada murid muridnya. Tanpa rasa malu atau gengsi, beliau sangat menginspirasi anak didiknya untuk dapat mencontoh kegiata tersebut. Bu Juliantika juga selalu berpesan "Tidak peduli pekerjaan apa yang kita jalani. Selagi itu halal, bermanfaat bagi orang lain dan dunia, pekerjaan kita selalu jadi hal yang paling membahagiakan untuk kita jalani dalam hidup."
Kondisi yang dialami Bu Juliantika tidak pernah membuatnya mengeluh. Ia merasa bahagia ketika melihat anak-anak didiknya tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan berakhlak mulia. "Meskipun gaji saya kecil, saya merasa sangat bersyukur bisa menjadi guru. Melihat anak-anak tersenyum bahagia saat memahami pelajaran yang saya sampaikan adalah hal yang paling membahagiakan." ujar Bu Juliantika dengan senyum sederhana. Anak didik Bu Juliantika juga tidak sedikit yang berprestasi berkat bimbingan dan dukungan beliau. Hal ini menjadi kesan yang mendalam bagi para siswanya.
Menjadi guru honorer tentu bukan tanpa tantangan. Selain gaji yang rendah, guru honorer juga seringkali tidak memiliki kepastian status kepegawaian. Ketidakjelasan status kepegawaian membuat guru honorer hidup dalam ketidakpastian, sulit merencanakan masa depan. Padahal dalam kenyataannya, pendidikan adalah investasi penting suatu negara dan hidup. Namun, semangat mereka untuk mengajar tetap berkobar. Mereka termotivasi oleh keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak didiknya. Melahirnya insan baru yang lebih baik dalam memimpin negeri ini.
Kisah inspiratif seperti Bu Juliantika menunjukkan bahwa guru honorer adalah pahlawan tanpa jubah yang patut kita hargai. Mereka adalah aset berharga bagi bangsa. Untuk itu, kita perlu memberikan apresiasi dan dukungan yang lebih kepada mereka. Contoh hal kecil yang bisa kita lakukan adalah mari bantu mengedukasi orang orang sekitar kita tentang pentingnya etika terhadap guru, siapapun dan bagaimanapun status mereka dalam pekerjaannya. Sisihkan sebagian harta kita untuk bersedekah terhadap mereka yang membutuhkan. Biarpun kita nanti sudah dewasa, kita tidak boleh lupa jasa yang telah beliau berikan selama kita mengenyam pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H