TIPISNYA PERBEDAAN ANTARA IKHLAS DAN RIYA
Sebagai manusia, kita tidak akan pernah terlepas dari suatu pekerjaan. Betapa banyak pekerjaan yang kita lakukan setiap hari mulai dari pagi hingga malam. Islam mengajarkan bahwa pekerjaan yang kita lakukan akan bernilai ibadah jika dilakukan dengan ikhlas dan tidak keluar dari syariat yang telah ditentukan. Bahkan setiap pekerjaan akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang kita kerjakan. Allah memerintahkan setiap hamba-Nya untuk melakukan segala sesuatu dengan ikhlas. Segala perbuatan semata-mata hanya untuk mencari ridho Allah.
Lalu, bagaimanakah bentuk keikhlasan tersebut? ikhlas terlahir dari hati kita yang paling dalam. Terlahir pula dari hati yang hanya mengharap ridho Tuhan-Nya. Tanpa mengada-ada ataupun bertujuan untuk mendapat perhatian dari orang lain. Tidak pula untuk meraih tanda jasa, pujian dan penghargaan. Ikhlas akan mengubah rasa lelah menjadi lillah. Keikhlasan menuntun seseorang pada cahaya Rab-Nya. Tidak akan ia merasakan payah ataupun gundah. Tidak akan sia-sia apa yang akan dikerjakannya. Pahala dan kebaikan juga turut mewarnai kehidupannya.
Salah satu contoh yang bisa menggambarkan keikhlasan seseorang ialah ketika ia menginfakkan Sebagian rezeki yang ia miliki tanpa sepengetahuan seorang pun. Tangan kanannya besedekah sedang tangan kirinya tak mengetahui apa yang ia kerjakan. Niatnya kembali untuk mencari ridho Allah bukan untuk mencari simpati ataupun pujian dari manusia. bukankah itu sangat indah?
Namun, perlu kita ketahui bahwa perbedaan antara ikhlas dan riya’ itu sangat tipis sekali. Dengan mudah keikhlasan seseorang berubah menjadi riya’ ketika seseorang mengharap pujian atas apa yang ia kerjakan. Singkatnya, riya’ adalah sikap seseorang yang ingin dipuji atas kebaikannya. Seseorang yang bersifat riya’ akan semangat dalam mengerjakan kebaikan jika dilihat oleh banyak orang. Penilaian seseorang merupakan tujuannya. Namun apakah hal tersebut diajarkan dalam Islam? Tidak.
Bahkan dapat kita temukan dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad S.A.W menampakkan kekhawatiran terhadap umatnya yaitu ketika umatnya tidak menaruh keikhlasan dalam amalnya sehingga mengarah pada riya’.
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ؟ قَالَ الرِّياَءُ
“sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil, para sahabat bertanya ‘wahai Rosulullah apakah syirik kecil itu, beliau menjawab ‘Riya’.
Dalam hadist Qudsi juga disebutkan:
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ