Pendahuluan
What, Why & How
Semar, sosok panakawan dalam pewayangan Jawa, lebih dari sekadar tokoh pelawak. Ia adalah representasi dari pemimpin yang bijaksana, adil, dan penuh kasih sayang. Melalui lensa semiotik, kita dapat mengurai simbol-simbol yang melekat pada sosok Semar. Wujudnya yang unik, antara tua dan muda, laki-laki dan perempuan, mencerminkan keseimbangan dualitas dalam kepemimpinan. Semar tidak hanya tegas, tetapi juga empatik. Ia adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat, memahami penderitaan mereka, namun tetap memiliki wibawa.
Tokoh Semar, kaitannya dengan kepemimpinan pertunjukan tradisional Jawa Wayang memiliki karisma yang lebih tinggi yang kemudianSemarmenanamkan padaPunokawan dan bahkan Pandawa akan sifat-sifat kepemimpinan dan keteladanan sehingga sehingga secara bawah sadar paraPunokawan dan Pandawa akan mensensorperilaku-perilaku yang membuat mereka berkesan dan mengaplikasikanya ketika mereka mengalami situasi yang membutuhkan perubahan perilaku.
Ketokohan Semar di dalam pertunjukan tradisional kebudayaan Jawa yaitu Wayang diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu panduan dalam rangka merekomendasikan solusi-solusi terhadap berbagai krisis kepemimpinan yang melanda bangsa Indonesia saat ini.
Kepemimpinan menurut Kebudayaan Jawa, bentuk dan konsepnya bervariasi. Meskipun demikian konsep-konsep tersebut arahnya menuju pada suatu paradigm keseimbangan. Dalam karya sastra dapat kita mengkaji nilai-nilai filosofis yang telah diwariskan untuk dapat digunakan kehidupan sekarang, termasuk konsep tentang kepemimpinan. Dalam karya sastrajawa, konsep kepemimpinan banyakdituangkan dalam bentuk ajaran salah satudi antaranya yaitu Nilai Kepemimpinan dalam Serat Sastra Gendhingbahwa dijabarkan beberapa sifat kepemimpinan sebagai berikut :
Gaya Kepemimpinan Nusantara (Semar/Ismoyo)
1. Semar sebagai Personifikasi Kepemimpinan Jawa Nusantara
Semar digambarkan sebagai personifikasi nilai kepemimpinan dalam budaya Jawa Nusantara yang mencakup berbagai agama seperti Hindu, Islam, dan kepercayaan lokal. Semar dipandang sebagai manifestasi dari "Dan Hyang Semar," yang juga dikenal dalam mitologi oleh tokoh seperti Syekh Subakir dan Sabdo Palon.
Dalam konteks sejarah penyebaran Islam di Jawa, disebutkan bahwa Syekh Subakir melakukan "pamitan" atau perpisahan di Gunung Telomoyo, Merapi, dan Merbabu, dengan Semar sebagai pelindung Nusantara. Istilah "Dang" dalam nama Semar menunjukkan gelar bagi dewa atau leluhur, mirip dengan istilah "Hyang" yang dipakai dalam budaya Kaharingan di Kalimantan. Transformasi nama ini mengisyaratkan kedekatan budaya Jawa dengan konsep dewa dan leluhur yang dihormati.
2. Semar sebagai Lambang Ilmu Langit dan Kepemimpinan
Semar digambarkan memiliki kondisi sebagai seorang pemimpin yang berlandaskan ilmu pengetahuan yang tinggi (ilmu langit) dan menguasai kebijaksanaan sebagai pemimpin yang berbudi luhur.
3. Metafora Telur: Kulit, Putih, dan Kuning Telur
Dalam filosofi kepemimpinan Nusantara, tiga lapisan telur (kulit, putih, dan kuning telur) menjadi simbolisasi yang mencerminkan lapisan spiritual yang mendalam dalam masyarakat Jawa. Telur ini melambangkan tokoh-tokoh penting seperti Gunung Siem, Batara Guru, Semar, dan Togog yang secara hierarkis memiliki peran berbeda dalam kosmologi Jawa.
4. Interpretasi dalam Teks Kuno Jawa
Dalam naskah kuno Jawa, terdapat istilah "Pikulan Tunggal," yang merujuk pada filosofi eksistensi sebelum segala sesuatu ada. Nama-nama seperti Sanghyang Wenang atau Sanghyang Tunggal dan Batara Tunggal digunakan untuk menggambarkan entitas yang memegang "telur" dengan berbagai warna sebagai simbol kekuatan spiritual dan kemakmuran. Kuning telur disebut sebagai "Manik Moyo" atau Batara Guru.