Lihat ke Halaman Asli

Vita Sophia Dini

Busy chasing dreams

Fun and memorable at DUFAN

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1398877091791598671

Siapa yang nggak kenal Dufan a.k.a Dunia Fantasi? Tempat wisata seru yang berlokasi di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Beroperasi mulai 29 Agustus 1985, sejak itulah Dufan menjadi salah satu destinasi favorit warga Jakarta dan sekitarnya. Dengan konsep outdoor adventure theme park, Dufan menyajikan sejumlah wahana modern yang di-update setiap tahun. FYI, Dufan dibagi ke dalam beberapa kawasan sesuai karakteristik wahananya, antara lain Kawasan Asia, Kawasan Yunani, Kawasan Amerika, Kawasan Eropa, dan Kawasan Indonesia.

Aku sendiri pertama kali ke Dufan tahun 1990-an bareng keluarga, waktu aku masih bocah yang gemes-gemesnya *heugh :D Abis itu kunjung ke Dufan beberapa tahun sekali, bersama keluarga juga. Jadi nggak setiap tahun yaa ke Dufan, walau domisili kami di ibukota negara, hehe. Kemudian, datang lagi kesempatan ke Dufan bareng teman-teman kuliah, tepatnya bulan Juni 2007. Wah, udah cukup lama ya, hampir 7 tahun yang lalu. Kalau nggak salah ingat, tiket Dufan pada masa itu kisaran 100 atau 150-an ribu rupiah. Harga yang masih bisa dijangkau oleh mahasiswa seperti kami. Jadi, tiga hari setelah kelar Ujian Akhir Semester (UAS) kami refreshing ke Dufan.

Karena ingin puas-puasin main di Dufan, kami berniat datang lebih awal, pulang paling akhir. Oleh karena jam operasional Dufan mulai pukul 10 WIB, kami tiba 60 menit sebelumnya. Saat-saat menunggu pintu Dufan dibuka usai tiket dalam genggaman, kami habiskan dengan ngobrol, ngemil, pergi ke toilet, dan foto-foto narsis. Tak terasa jarum jam menunjuk pukul sepuluh, aku dan keempat belas teman bergegas menuju pintu masuk Dufan. Dan, wahana perdana yang kami sambangi adalah Kicir-Kicir. Terdengar mirip judul lagu daerah asal suku Betawi yah? ^o^a

Kicir-Kicir atau disebut juga Power Surge menyerupai kincir angin raksasa yang di tiap ujungnya terdapat kursi untuk penumpang. Kursi tersebut dapat berputar 360 derajat searah putaran kincir utama. Sebelum menaikinya, kami amati dulu wahana yang didatangkan dari Zamperia (Italia) itu dari bawah.

“Yakin lo Nyu, pengen naik ini duluan? Nggak yang ringan-ringan dulu buat pemanasan?” tanya Nyenyo kepada Nyu, panggilan akrab untuk Wahyu.

“Justru ini bagus untuk pemanasan, biar langsung panas, Nyo!” jawab Nyu, cowok tinggi berkepala plontos.

Etdah, pemanasan kok yaa wahana yang ekstrim sih, Nyuuu, batinku yang merasa pusing duluan sebelum naik Kicir-Kicir -_-

Walau sempat ragu bin ngeri, akhirnya aku ikut teman-teman juga nyobain Kicir-Kicir. Setelah mengantri sekian menit, saatnya giliran kami menjajal wahana yang mulai beroperasi di Dufan sejak tahun 2002. Semua memilih kursi masing-masing, contohnya aku yang bersebelahan dengan Ghozy. Saat start, Kicir-kicir berputar pelan, kaki kami beberapa senti di atas tanah. Lambat laun Kicir-Kicir putarannya makin kencang, sontak terdengar suara-suara tak berirama. Kemudian Kicir-Kicir mulai ‘berulah secara brutal’. Ia tak hanya memutarbalik, tapi juga memelintir, meluncurkan manusia-manusia yang duduk di kursinya. Semenjak itu, dunia serasa berputar dalam sekejap. Tak tahan dengan pandangan yang ‘kabur’, kupilih memejamkan mata saja. Tak peduli telinga pekak oleh teriakan fales Ghozy, yang penting aku nggak merasa seperti lagi vertigo. Setelah berputar-putar satu menit, mendadak Kicir-Kicir stop berputar. Kami pun melayang di udara sejenak. Kubuka kelopak mataku, sekadar untuk mengecek apakah aku masih hidup atau setengah hidup alias pingsan.

“Vit, vit... lu kok nggak ada teriakannya sama sekali sih, Vit? Nggak takut ya?” heran Ghozy mendapati diriku yang kalem aja.

Dengan dada masih berdebar tak karuan, kujawab saja dengan ngasal, “gue lagi nyimpen suara buat wahana yang lebih ekstrim dari ini, Ghoz!”

“Hoahooo...” teriak Ghozy, dan Kicir-Kicir pun kembali ‘berulah secara brutal’. Usai ber-dagdigdug ria sekitar dua menit, Kicir-Kicir perlahan-lahan menurunkan ketinggian dan kecepatan putarannya. Saat itulah, aku baru bisa teriak lepas. Bwahaha.. telat yah? Biariiin, yang penting plong rasanya :p Fiuuuh... bener-bener deh, wahana yang berada di Kawasan Eropa ini membuat kita merasakan sensasi diputar-putar melawan gravitasi. Hiii... pusyiiink! ‘Oleh-oleh’ abis naik Kicir-Kicir, pundakku berdenyut-denyut akibat terlalu kencang berpegangan pada kursi. So sebaiknya bila ingin menjajal Kicir-Kicir, be relax, jangan kaku, enjoy aja waktu badanmu diputer-puter kayak baling-baling helikopter.



Ini dia penampakan Kicir-Kicir alias Power Surge

13988771271538617591



Sesaat sebelum Kicir-Kicir beraksi, Reny bergaya, sementara Ayu berdoa

Seperti dugaanku, akan ada wahana lebih ekstrim yang kami naiki setelah Kicir-Kicir yaitu Kora-Kora. Wahana berupa perahu raksasa yang diayun ke depan-belakang secara konstan. Seingatku, semasa bocah dulu, aku pernah naik Kora-Kora. Tapi berhubung udah lama juga nggak ke Dufan, aku tak begitu ingat sensasi menunggangi ‘bahtera Nuh’ itu. So, dengan tekad ’45 aku dan teman-teman menerima tantangan ekstrim Koka-Kola eh Kora-Kora. Aku duduk di kursi bagian tengah paling kiri, sebelah kananku berturut Diyan, Ochie, dan Reny. Di hadapan kami, ada Ayu yang duduk sendirian, tak ada yang menemani *kasihan #pukpuk. Sisanya pada duduk di deretan belakang.

“Huhu... huhu... huoooh...!” Kora-kora belum beraksi, namun sebagian orang telah memamerkan pita suaranya. Curi start itu namanya -_-

Begitu petugas memastikan semua penumpang telah aman, Kora-Kora pun siap dijalankan. Perahu raksasa bergerak, mula-mula dengan perlahan. Kala kecepatan ayunan perahu mulai mengencang, kupererat genggaman pada pegangan besi. Penumpang mulai riuh, merasakan sensasi diayun-ayun sekencang badai.Aku yang gemetaran tingkat Monas, memejamkan mata tiap perahu hendak menukik tajamplus napas megap-megap dan baru berani membuka mata saat perahu menanjak.Di sebelahku, Diyan-Ochie-Reny tak henti-hentinya mentransfer rasa takut mereka ke dalam suara sopran yang tak berirama.Perahu pun kembali menukik, diiringi seruan Diyan yang terdengar seperti rintihan buaya sakit gigi. Waktu perahu menanjak lagi, sempat ’kuintip’ Ayu sejenak. Bibir mungilnya maju lima senti sambil mengeluarkan suara auuuoo khas Tarzanwati, seketika aku merasa berada di Hutan Jati.

Setelah mengudara sekitar dua menit, Kora-Kora mulai mengurangi kecepatannya hingga benar-benar stop. Kelihatan raut plong yang amat kentara di wajah para penumpang.

"Akhirnya, landing juga. Heeeh... dua menit yang mendebarkan!" ujar Ayu ketika turun dari Kora-Kora.

"Yoi, gue serasa melayang kayak burung camar," celetuk Ochie, yang tadi rambutnya ‘bermekaran’ seperti ketiup angin bahorok.

Aku yang masih merasakan lutut lemas akut, cuma bisa menggumam dalam hati, “cukup sudah! Dua kali aja seumur hidup gue naik Kora-Kora. Nggak lagi-lagi deh!”

Emang bener, naik Kora-Kora tuh membuat nyawa kita seolah-olah ‘terbang’ dan waktu perahu menukik rasanya seperti terjun dari Eiffel. Oke, itu lebay.

Istana Boneka terpilih sebagai wahana ketiga yang kami kunjungi. Pas lagi ngobrol sambil ngantri, tiba-tiba Ochie meminta perhatian kami semua.

“Yak, setelah pemanasan dengan Kicir-Kicir dan Kora-Kora, sampailah kita di wahana paling ekstrim se-Dufan.”

Aku dan teman-teman langsung ngakak jaya. Gimana nggak, Istana Boneka aslinya wahana yang paling menyenangkan sekaligus menenangkan. Dari luar memang tampak seperti istana, walau sejatinya berupa lorong panjang yang di dalamnya terdapat aneka boneka bergerak, baik dari Indonesia maupun mancanegara. Pokoknya, masuk ke Istana Boneka tuh layaknya berwisata budaya dengan perahu. Enaaak deh, bisa rileks, bisa ngadem juga cause di dalemnya berhawa sejuk.

1398877270188667111



Mana bisa heboh begini coba, di wahana ter-ekstrim?

Setelah mengurangi ketegangan di Istana Boneka, kami ishoma (istirahat, sholat, makan). McD pun jadi pilihan kami untuk mengisi perut yang udah berkukuruyuk. Karena nggak dapat kursi, kami mengakalinya dengan lesehan di depan resto McD. Jadi piknik deh, hehe. Usai kenyang, adrenalin kami pacu kembali dengan wahana ekstrim terbaru di Dufan (kala itu) yakni Tornado. Wahana yang terletak di Kawasan Indonesia ini terdiri atas dua tiang pancang yang di bagian tengahnya terpasang deretan kursi penumpang. Sebelum memutuskan menaiki/tidaknya, aku mengamati terlebih dulu. Jadi setelah petugas memasang sabuk pengaman tiap-tiap orang, Tornado pelan-pelan bergerak ke atas. Kemudian tanpa ampun Tornado menjungkirbalikkan kursi penumpang berkali-kali, dalam tempo lambat hingga cepat. Bisa kubayangkan betapa pusingnya itu. Terus, dengan seenaknya Tornado menggantung orang-orang dalam posisi miring. Jeritan manusia-manusia pun tak terhindarkan. Belum cukup dijungkirbalik, penumpang harus rela dicipratin air dari bawah. Abis itu, mereka diputar-putar lagi hingga Tornado berhenti dengan sendirinya. Kesimpulan yang bisa kupetik adalah Tornado memberi sensasi (bagaimana rasanya menjadi) kambing guling.

“Vit, mau naik Tornado nggak?” ucap Nyenyo yang bersiap masuk ke antrian menyusul teman-teman yang lain.

“Nggak deh, Nyo. Gue bukan kambing guling,” kataku, yang disambut tawa kecil Nyenyo. Ia pun bergegas masuk ke antrian yang mengular naga panjangnya bukan kepalang.

Mendengar desas-desus antrian Tornado bisa mencapai dua jam lebih, aku dan teman-teman yang nggak ikut Nyenyo cs berinisiatif mencari wahana lain. Yah, itung-itung sambil ‘membunuh’ sang waktu *tsaaah :D Tadinya sih ingin naik Niagara-gara, tapi berhubung antriannya mengular anaconda, kami pun beralih ke Alap-Alap. Untungnya, Halilintar versi kecil atau mini roller coaster ini antriannya nggak mengular, cuma ‘mencacing kremi’ saja. Jadilah, kami nggak terlalu lama menunggu giliran naik. Walaupun cukup mendebarkan, aku nggak keberatan menjajal Alap-Alap kembali di masa mendatang. Lain halnya Halilintar, i think sampai kapan pun aku ogah menaikinya. Teramat ekstrim bagiku :p

Kelar naik Alap-Alap, ternyata Nyenyo cs masih mengantri Tornado. So aku dan lainnya duduk-duduk saja sambil ngemil dan ngobrol. Mau nyoba wahana lain juga males aja ngeliat antriannya yang panjang, padahal udah mau Maghrib lho. Akhirnya tak lama setelah adzan Maghrib berkumandang, Nyenyo cs dapat giliran menjajal wahana Tornado. Aku dan Tian bagian seksi dokumentasi alias tukang foto dadakan. Jeprat-jepret sambil menikmati jejeritan teman sendiri adalah hal yang mengasyikkan *dasar! :D Begitu turun dari Tornado, mereka pada basah kuyup semua. Tapi untungnya nggak ada yang pingsan dan muntah, haha.

1398877334396784833


Ini dia wahana 'kambing guling' eh Tornado

Selanjutnya, kami semua menuju mushola untuk menunaikan ibadah sholat Maghrib. Masih ada waktu sekira 1,5 jam sebelum Dufan tutup, kami pergunakan untuk berpetualang di wahana Arung Jeram. Arung Jeram memang salah satu wahana favoritku selain Ontang-Anting, Baku Toki dan Niagara-gara. Jadi yaa, aku antusias banget waktu anak-anak pada ngusul Arung Jeram sebagai wahana terakhir before go home. Alasan lain adalah aku pengen berbasah-basah ria juga, kayak Nyenyo cs tadi yang dah basah gegara Tornado. Hahaha...

Pokoknya nggak pernah bosan deh, naik wahana berperahu karet itu. Sensasi digoyang-goyang oleh aliran air yang deras plus cipratan air yang tiba-tiba, bikin nagih. #‎MemorableMoment tuh pas salah satu dari kami – entah persisnya siapa, lupa-- sok-sokan nggak pakai sabuk pengaman. Nggak tahunya, pas dapat guncangan kencang langsung nyungsep ke tengah perahu. Kontan, kami terbahak-bahak. Belagu sih luuu... :p

Masih ada waktu sekitar setengah jam, kami pun berganti pakaian dan shalat Isya. Setelah itu, kami bernarsis ria sepanjang jalan dari depan mushola hingga depan wahana Turangga-rangga sepuasnya, sampai baterai digicamnya habis, hahaha. Baru deh, kami balik ke rumah ortu masing-masing. Jadi selama 10 jam berada di Dufan, kami berhasil ‘melahap’ 6 wahana. Lumayan khan?

Suwer, main ke Dufan tuh really ‪#‎NeverEndingFun. Kesemua wahananya mengasyikan. Transportasinya pun cukup mudah. Bisa dicapai dengan KRL atau bus TransJakarta, bila enggan menggunakan mobil pribadi. Jadi kalau long weekend, nggak perlu pelesiran ke tetangga-tetangga Jakarta, paling juga macet. Mending liburan ke Dufan, dijamin seru dan mengasyikkan. Tiketnya pun nggak terlalu mahal, hanya dengan kartu annual pass seharga 260.000 rupiah, kamu bisa mengunjungi Dufan sepuasnya selama setahun!

Oke dech, I'd like to say big thanks to all my friends. It was an unforgettable experience, to share jokes and laugh ‪#‎IniDufanKami. And I feel lucky to be friends with you.

NB :

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba penulisan blog "INI DUFAN KAMI"



Courtesy of Asep and Bayu, yang telah mengizinkan foto-fotonya dipakai untuk melengkapi tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline