Lihat ke Halaman Asli

Prasasti Kedukan Bukit: Peninggalan Sejarah Kerajaan Sriwijaya dan Implikasi Budaya

Diperbarui: 5 Juni 2024   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ditulis oleh:

Nama:Annisa Putri Pratiwi

Nim:23046048

 
 
 Berdasarkan sebaran tinggal arkeologi yang semasa dengan priode kerajaan sriwijaya yaitu abad ke-17 s.d abad ke-13 M, luas kerajaan ini menyebar ke seluruh bagian pulau sumatra terutama di bagian wilayah pantai timur Sumatra hingga Barus dibagian barat laut. Di wilayah Sumatra bagian selatan lokasi sebaran tinggalan arkeologis tidak saja terdapat di sekitar kota Palembang tetapi juga hampir di sepanjang aliran Sungai Musi dan Ogan Ulu hingga di wilayah pantai timur dan Pulau Bangka.
 Dapunta Hyang sebagai sang penguasa dan pemimpin wilayah sriwijaya akan membuat pemerintahannya jaya dengan membangun berbagai sarana dan prasarana yang menunjang kehidupan masyarakat dalam bidang sosial, agama, dan ekonomi, walaupun wujud pembangunan yang pernah ada ini beberapa tidak diketahui rupanya namun diyakini sebagai sebuah kebenaran dengan adanya bukti yang terpahat dialam prasasti-prasasti Sriwijaya.
  Prasasti menandakan berakhirnya masa pra sejarah dan bermunculanya masa sejarah. Masa dimana sebagian masyarakat saat itu mulai dapat menulis dan membaca, dengan adanya prasasti-prasasti ini dapat kita ketahui kondisi dan corak kehidupan pada masa itu. Kedatukan Sriwijaya dipercaya berdiri tahun 682 M di daerah Palembang (Bukit Siguntang) dengan rajanya yang bernama Dapunta Hiyang Siddharyatra, hal ini dijelaskan dalam prasasti Kedukan Bukit yang bertanggal 11 bulan wisak tahun 604 (682 M).
 
Berikut ini adalah bunyi dari prasasti Kedukan Bukit:
 
(1). Svati, Shri. Shaka Varsatita 604 ekadashi shu-;
(2) Klapaksa vulan vaisakha dapunta hyang nayik di;
(3) samvan mangalap siddhayatra di saptami shuklapaksa;
(4) vulan iyestha dapunta hyang marlapas dari minanga;
(4) tamvan mamava yang vala dua laksa danan kosha;
(5) dua ratus shara di samvan, danan jalan sarivu;
(6) tlu ratus sapulu dua vanyaknya, datam di Mukha Upang;
(9) sukhcitta. Di panshami suklapaksa vulan........
(10) Asadalghu mudita datang marvuat wanua   .....
(11) Sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa.......
 
Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti kurang lebih sebagai berikut:  
(1) Bahagia, sukses. Tahun Saka berlalu 604 hari kesebelas;
(2) paroterang bulan Waisak, Dapunta Hyang naik di;
(3) perahu melakukan perjalanan suci. Di hari ketujuh paroterang;
(4) bulan Iyestha, Dapunta Hyang berlepas dari Minanga;
(5) tambahan membawa bala (tentara) dua laksa dengan perbekalan dua ratus peti;
(6) di perahu, dengan berjalan seribu;
(7) tiga ratus dua belas banyaknya, datang di Muka Upang;
(8) bersukacita. Di hari kelima paroterang bulan    ....  
(9) Dengan lega gembira datang membuat kota / kerajaan  .......
(10) Sriwijaya jaya, perjalanan suci berlangsung sempurna.
 
    Sriwijaya bukan hanya terkenal sebagai kerajaan maritim tapi juga sebagai pusat pendidikan dan kegiatan agama buddha, keberadaan prasasti serta arca membuktikan hal ini. Selain itu, didukung oleh kisah perjalanan I-Tsing pada abad 8 M yang singgah di Sriwijaya dan dalam bukunya ia menyarankan sebelum bertolak ke India untuk belajar Buddha akan lebih baik untuk mempelajarinya terlebih dahulu di Sriwijaya. Hal ini terlihat dari kedatangan pendeta dari Tibet bernama Atisa di Sriwijaya pada abad XI Masehi yang bertujuan untuk belajar agama buddha. Dengan menjadi pusat kegiatan agama buddha tentu dibangun arca-arca dan candi-candi seperti yang terdapat di situs Bumiayu di Sumatra Selatan dan Candi Muaro Jambi di Jambi yang berasal dari sekitar abad ke 9-12 M tersebut Menggunakan batubata sebagai bahan bangunan utama.
    Pada zaman Sriwijaya menjadi sasaran bangsa-bangsa lain untuk menguasai kedudukannya yang strategis dalam perniagaan di daerah penghubung Negeri Barat dengan Timur dekat (Cina) itu. Selain letaknya yang strategis , daerah ini menghasilkan komoditas penting, seperti lada dan hasil hutan misalnya rotan, kayu, gading gajah dan cula badak. Banyaknya ekspedisi (serangan melalui laut) kerajaan lain di Asia Selatan yang menyerang Sriwijaya, membawa pengaruh buruk bagi kekuasaan Sriwijaya. Operasi para bajak laut yang pada waktu itu terbatas karena dijaga kapal-kapal perang kedatukan juga berupaya keras untuk melawannya.
     Pada 1023, Raja Cola, India Muka, bernama Rajendra Coladewa (keponakan Datuk Sriwijaya sendiri) dalam ekspedisi pertamanya menyerang Sriwijaya, menceritakan bahwa kota Palembang mempunyai tiga lapis gapura (pintu masuk), indah (permata keindahan), permai (harta keemasan), dan kuat (pertahanan). Pintu terakhir ini dijuluki Widhya Dharma Terama. Dalam prasasti Tanjore (1030 M) menulis bahwa ibukota berpagar (walled capital city) Palembang terbuat dari batubata dan panjang pagar puluhan li. (10 li = 3 mil = 51/2 Kilometer). “Kedatukan membuat tembok tinggi yang kekar dengan garis lingkaran puluhan li mengelilingi ibukotanya.
  Dari sinilah dapat dilihat bahwa pertahanan wilayah sangat penting untuk keamanan suatu negara, Sriwijaya sebagai kerajaan yang besar membangun pertahanan wilayahnya dengan membentuk armada laut yang besar untuk melindungi dan menjaga kekuasaan di wilayahnya, selain itu dibuat juga tembok dan benteng di pusat kerajaan untuk menghalang serangan musuh dan mengawasi daerah sekitarnya.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline