Tim PKRS Pendidikan Khusus UPI 5B -- pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, tidak terkecuali bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Pelecehan seksual dapat berupa pelecehan fisik dan non-fisik yang dapat juga terjadi secara online. Maka dari itu, pembelajaran seksual di sekolah sangat dibutuhkan agar mereka memahami pentingnya menjaga diri dan mengenal batasan-batasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis atau orang lain.
Beberapa tim mahasiswa dari program studi Pendidikan Khusus Universitas Pendidikan Indonesia beberapa waktu lalu sudah melaksanakan program Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) bagi anak berkebutuhan khusus. Tim yang beranggotakan Agung, Annisa Puspitasari, Fikri Nurfajri Dedyanto, Firman Abyaksa, dan Siti Sarah Yuniar melakukan penelitian mengenai pembelajaran pelecehan seksual untuk peserta didik tunarungu di SLBN-A Citeureup Kota Cimahi. Penelitian ini diharapkan akan berdampak pada meningkatnya pengetahuan dan pemahaman peserta didik mengenai pelecehan seksual.
Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan melakukan asesmen kepada peserta didik tunarungu kelas IX SMPLB Citeureup Kota Cimahi dengan topik pelecehan seksual. Dari proses asesmen yang sudah dilakukan, maka didapatkan profil pembelajaran peserta didik mengenai kemampuan, hambatan, dan kebutuhannya. Profil pembelajaran tersebut dapat dimanfaatkan oleh peneliti untuk selanjutnya dibuatkan program pembelajaran yang sesuai, sehingga penerapan pembelajarannya akan lebih efektif dan tepat sasaran.
Program pembelajaran yang dibuat untuk peserta didik difokuskan pada cara memberikan respons dan tindakan yang tepat saat terjadi pelecehan seksual dengan beberapa bentuk pelecehan seksual yang ada. Proses implementasi dilakukan sebanyak tiga pertemuan, dilengkapi dengan media pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran saat itu. Peneliti menggunakan tiga media pembelajaran yang berbeda, yaitu media wayang, video pembelajaran mengenai pelecehan seksual online, dan juga papan simulasi chat.
Pada pertemuan pertama, peserta didik belajar mengenai bentuk-bentuk pelecehan seksual di lingkungan sekitar seperti sekolah, jalanan, dan transportasi umum dan tindakan yang tepat saat pelecehan tersebut terjadi. Pembelajaran dilakukan menggunakan media wayang yang dibalut dengan proses diskusi aktif dengan peserta didik. Pertemuan kedua, peserta didik belajar untuk mengenal pelecehan seksual yang terjadi secara online dan dampaknya bagi korban. Lalu pertemuan ketiga, peserta didik mencoba untuk melengkapi papan chat dengan memberikan respons yang benar dan salah dalam menanggapi pelecehan seksual.
Berdasarkan keseluruhan hasil implementasi yang sudah dilakukan, terdapat perubahan yang cukup signifikan terhadap kemampuan pemahaman peserta didik mengenai pelecehan seksual. Apabila dibandingkan pada saat proses asesmen dengan setelah proses implementasi program, dapat diketahui bahwa peserta didik mengalami peningkatan dalam memberikan jawaban terkait respons dan tindakan saat terjadi pelecehan seksual dengan tepat. Peserta didik juga berperan sangat aktif dalam proses diskusi.
Dengan adanya program PKRS ini, peserta didik berkebutuhan khusus dapat lebih mengenali mengenai bentuk-bentuk pelecehan seksual dan cara memberikan respons atau tindakan dengan tepat. Mahasiswa Pendidikan Khusus UPI juga dapat memberikan dampak yang positif bagi anak berkebutuhan khusus, dengan membagikan ilmunya mengenai pelecehan seksual supaya anak berkebutuhan khusus dapat lebih waspada terhadap lingkungan sekitarnya. Diharapkan juga, semoga program PKRS ini dapat terus diberikan kepada anak berkebutuhan khusus sebagai bekal dan upaya dalam meningkatkan kesadaran tentang kesehatan reproduksi, utamanya tentang pelecehan seksual yang memang rentan terjadi pada anak berkebutuhan khusus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H