[caption id="attachment_236140" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Hai, Kompasianer... Bagaimana keadaannya? Semoga senantiasa sehat ya. Jangan sampai sakit. Sakit itu tidak enak, mahal lagi. Apa lagi jika sakit diperantauan. Jangan sampai deh. Jauh dari rumah dan orang-orang terkasih. Sangat tidak enak.
Hal ini sudah sering saya alami, karena sejak kuliah saya sudah merantau. Dan sekarang saat kerja juga sedang mendapat penempatan (sementara, amin, :D) yang jauh dari rumah. Tepatnya di Bali. Kira-kira 2 bulan yang lalu saya terkena radang telinga tengah. Sebenarnya jika saya sakit di daerah tempat tinggal saya, saya tidak perlu terlalu panik. Saya tahu dokter spesialis mana saja di radius 5 km rumah saya. Praktek jam berapa saja, yang mana yang cocok, nomer teleponnya dan lainnya.
Tapi berhubung saya sedang merantau, saya tidak tau dan belum mencari tau. Alhasil saya harus berkendara kurang lebih 2 jam (karena macet sekali), dari kantor ke RS. Sanglah. Dan ceritanya tidak semudah itu. Sebelumnya saya hanya flu biasa, yang kemudian disertai demam. Karena hari itu sudah malam, saya ke dokter 24 jam rujukan kantor di daerah Kuta. Tapi, dokternya ternyata sudah pulang (katanya 24 jam?!). Kemudian saya ke IGD sebuah RS swasta di kedongan. Tapi, mungkin karena saya sedang sial, pasien gawat daruratnya banyak sekali. Pada akhirnya, setelah menunggu 2 jam, saya menyerah dan pulang saja. Saya memutuskan minum parasetamol tanpa resep dokter dan tidur.
Paginya panas saya turun, tapi menjelang malam telinga saya sakit sekali. rasanya seperti ditusuk-tusuk. Dan semakin malam semakin sakit. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, rasa sakit di telinga saya benar-benar tidak tertahankan. Panik! Saya menelepon semua rumah sakit di Bali yang dokter THT-nya masih bisa praktek pada jam selarut itu.
Dan Alhamdulillah, RS. Sanglah Denpasarlah yang satu-satunya memberikan berita baik. Mereka bilang, saya datang dulu saja, nanti dokter THTnya bisa ditelepon untuk datang. Langsung saja saya meluncur ke Sanglah dengan taxi pertama yang saya dapat. Dan terjebak macet parah. Sampai marah-marah ke abang taxi, curiga disasarin, dan menangis juga karena menahan sakit dan merasa melas banget. Maap ya abang taxi...
Sesampainya di Sanglah, tidak langsung berakhir bahagia. Karena saya bingung mekanismenya, saya ikut-ikutan antri saja di bagian registrasi. Setelah mengantre lama, ternyata saya salah. Saya disuruh mengisi formulir di ujung konter dan setelah mengisi baru mengantri lagi. APA?! Tidak mungkin saya mau. Untung saja saya ingat, beberapa waktu yang lalu kan saya pernah ke Sanglah untuk periksa gigi. Dan saat itu saya membuat semacam kartu member Sanglah. Cepat-cepat saya serahkan kartu itu ke mbak-mbak yang jaga konter. Alhamdulillah, ternyata saya tidak perlu registrasi lagi. Saya disuruh menunggu di ruang tunggu. Kemudian ada dokter umum yang menanyakan sakit saya. Dan ditelponlah sang dokter THT.
Akhirnya dokter THT itu datang. Untuk menuju ruang pemeriksaan, saya ditemani oleh dua orang KOAS. Maklumlah, RS. Sanglah merupakan RS pendidikan. Tapiii, kedua orang itu terus menerus menyerbu saya dengan pertanyaan-pertanyaan. Saya sakit apa? apa yang saya rasakan? saya bisa menelan? Huh! Benar-benar deh.
Kemudian setelah diperiksa oleh dokter tersebut, saya dinyatakan radang telinga tengah. Dimana ada nanah yang menekan gendang telinga saya (dari dalam telinga ke luar). Kondisi gendang telinga saya sudah cembung parah sekali. Seharusnya dilakukan prosedur operasi, semacam dibuat lubang di gendang telinga saya untuk menetralisir tekanan, agar lubang telinga saya tidak pecah. Karena takut dan tidak yakin, saya minta alternatif lain. Akhirnya saya diberi obat berupa antibiotik dosis tinggi, obat flu, obat penurun panas, dan obat batuk. Jika besok pagi tidak membaik, saya harus segera dioperasi. Dan jika sudah baikan, saya harus cek up 5 hari lagi. Saya dilarang berenang dan naik pesawat. Jadi saya tidak bisa pulang dan melakukan pengobatan di kota asal saya.
Pulangnya, saya minum obat, dan berdoa, semoga besok saya sudah sembuh jadi, tidak perlu operasi. Tapi ternyata, pagi harinya, saya terbangun dengan telinga yang masih terasa ditusuk-tusuk. Tidak mau dioperasi, saya minta ijin tidak masuk kerja hari itu, dan bedrest dan terus berdoa. Alhamdulillah, semakin sore sakit telinga saya berangsur membaik. Hanya saja telinga saya seperti baru saja kemasukan air.
Setelah dua kali cek up dan sekitar 2 minggu lebih meminum antibiotik dan banyak berdoa, Alhamdulillah telinga saya kembali normal.