Semenjak WFH (Work From Home) Bulan Maret lalu, sontak ritme kehidupan dan pola berbisnis Saya mulai berubah. Perlu waktu hampir dua bulan untuk setting ulang kembali. Dan akhirnya pertengahan bulan Mei, Saya sedikit mulai selo (senggang) untuk bisa melanjutkan hobi menonton film dan mencoba untuk membedahnya dari sudut pandang Saya.
Ada satu film yang menarik minat Saya untuk menuliskannya di Kompasiana. Judulnya Care of Kancharapalem (sering disingkat c.o Kancharapalem).
Jika dirangkum dalam satu frasa, film ini adalah film dengan latar belakang masyarakat India dengan plot twist bagus yang sama sekali tidak bisa Saya tebak. Sebab salah satu kriteria film bagus buat Saya adalah yang akhir ceritanya tidak bisa Saya tebak.
Hal yang Saya suka dari film ini selain twist-nya, karena Sang Sutradara banyak mengangkat gambaran latar belakang masyarakat India dari berbagai sudut pandang pekerjaan dan peranan yang cukup kaya buat Saya, ada yang menjadi guru, siswa, pelayan di sekolah, penjual miras, wanita panggilan, tukang pukul, hingga pembuat patung. Di film ini juga tidak ada sama sekali adegan joget India yang kadang suka Saya skip. Hehehe.
Over all, film ini bercerita tentang 4 peristiwa dalam proses menemukan partner hidup atau teman hidup. Meski 3 peristiwa berakhir dengan kegagalan tragis. Namun ada 1 peristiwa yang berhasil, tentu dikisahkan dengan perjuangan luar biasa.
Hal yang menjadi catatan tersendiri buat Saya dan membuat Saya tergerak untuk membedahnya, karena dalam setiap film yang Saya tonton, Saya akan lihat dari berbagai sudut pandang, termasuk sudut pandang Sang Sutradara yang ingin menanamkan nilai tertentu apa di benak para audiens atau penikmat film ini.
Nah, di film ini sangat santer dirasa vibrasi kekecewaan atau putus asa dengan Tuhan yang Saya tangkap. Karena di film ini banyak mengisahkan kisah cinta tak sampai, terutama yang Saya soroti adalah cinta kandas sebab perbedaan kesepahaman dan perbedaan agama. Serta pilihan Raju untuk tidak percaya Tuhan karena ia merasa telah banyak dikecewakan oleh Tuhan (meski ia sudah sungguh-sungguh berdoa dan menggantungkan harapan kepada Tuhan).
Di sisi ini, penonton harus sangat cerdas dalam memilah dan memilih mana nilai-nilai yang akan dipegang Sebab opini Sang Sutradara, bukanlah suatu kebenaran universal. Bahkan ketika satu dunia berkonspirasi dengan opini yang sama akan hal itu. Itu tetap bukanlah kebenaran universal yang hakiki. Bukan kebenaran absolut atau kebenaran mutlak.
Karena jauh di lubuk hati terdalam setiap manusia, ketika dia sudah berdekatan dengan musibah dan kematian, dia akan paham bahwa ada "kekuatan" besar dari Sang Maha Pencipta, yang berada di luar kekuasaannya. Atau disaat ia menemui ajal dan bertemu dengan Tuhannya. Mungkin ia baru akan mengenal 'kembali' wajah Tuhannya.
Sejenak, Saya jadi teringat indahnya konsep suffering (penderitaan) dari Prof. Jeffrey Lang, profesor matematika atheis (tidak percaya adanya Tuhan), yang kemudian memilih menjadi mualaf. Ulasan dari Prof. Jeffrey Lang sangat elegan buat Saya dalam menjelaskan konsep suffering.
Jadi, bagi Anda yang merasa hidup ini kok terasa sulit terus ya? Nggak henti-hentinya kesulitan datang silih berganti. Padahal saya sudah selalu patuh kepada perintah Tuhan dan selalu berdoa. Kenapa ya? Kenapa harus Saya yang mengalaminya? Kenapaaa?